(JL. MATRAMAN DALAM 3 NO. 7, PEGANGSAAN, MENTENG, JAKARTA PUSAT) E-MAIL: mr.saputro83@gmail.com HP. 081283279783

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN


A. PELAYANAN KESEHATAN JIWA DI PUSKESMAS
            Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan umum, yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif pada semua kelompok umur termasuk kelompok usia lanjut. Mempertahankan kesehatan jiwa yang optimal merupakan salah satu hal yang penting dalam mencapai usia lanjut yang sehat dan sejahtera.
            Dan sebagai manfaat bagi upaya peningkatan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat termasuk didalamnya kesehatan jiwa bagi lansia maka Dinas Kesehatan Prop. DKI Jakarta mengeluarkan buku acuan sebagai Standar Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat yang dapat diaplikasikan ataupun diterapkan di Puskesmas – puskesmas di DKI Jakarta termasuk di Puskesmas Matraman.
            Mengacu daripada konsep Total Quality Manajemen, pelaksanaan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas Matramanpun masih perlu dikembangkan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada.

B. Upaya Pelayanan Jiwa Pada Lansia di Puskesmas Matraman

1.   Promosi
               Untuk mencapai usia lanjut usia, tua berguna, bahagia dan sejahtera ialah dengan mengaktifkan fisik, mental dan sosial ditunjukkan pada usia 45-59 tahun.
               Peran petugas kesehatan sebagai penyuluh bagi individu yang berada pada usia pertengahan (midle adult) antara lain dengan melakukan hal-hal sebagai berikut :
      a.      Mendapatkan data-data yang berkaitan dengan keadaan saat itu minimal diketahui berat dan tinggi badan, denyut nadi, tekanan darah, keluhan fisik dan penyakit yang diderita.
      b.      Mendapatkan data mengenai pola dan cara hidup mereka, mendapatkan data-data kondisi psikolotik yang mungkin tertampil dalam keluhan fisik yang diungkapnya.

               Berdasarkan data-data tersebut petugas kesehatan memberikan informasi dan penyuluhan pada keluarga dan penyuluhan pada keluarga dan masyarakat tentang hal-hal yang perlu diketahui tentang usia lanjut. Bila ada masalah fisik dan psikologis yang memerlukan penanganan lebih lanjut, petugas kesehatan perlu memberikan rujukan pada ahli sesuai dengan kondisi dan keperluan usia lanjut.
               Mensosialisasikan tentang persiapan sebelum memasuki usia lanjut sebagai berikut :
a.            Menjadi tua diterima dengan ikhlas dan realistis
b.            Menjadi tua dihadapi dengan sikap mental yang positif dan optimistik
c.            Berperilaku hidup sehat, mencegah penyakit dan tetap memelihara kebugaran.
d.            Membangun, membina dan memelihara hubungan sosial.
e.            Meningkatkan terus ilmu dan ketrampilan sebagai bekal menjalani hidup yang bermanfaat sosial maupun ekonomi.
f.              Apa yang telah terjadi diterima sebagai takdir.
g.            Tetap aktif, jasmani dan rohani, sebab kehidupan yang pasif akan mempercepat proses penuaan.
h.           Berusaha menjadi subyek selama mungkin dalam kehidupan
i.              Meningkatkan kehidupan spiritual dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

2.   Prevensi
      a.      Meningkatkan pengertian dan perhatian petugas kesehatan
               Petugas kesehatan dalam melaksanakan kegiatan pelayanannya pada usia lanjut tidak hanya memperhatikan keluhan-keluhan yang dikemukakan oleh mereka tetapi juga mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain yang mendasari keluhan tersebut seperti masalah psikologis, sosial, budaya atau kemungkinan adanya masalah mental emosional.
      b.      Mensosialisasikan usia lanjut sejahtera
               Sejahtera adalah terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin, kebutuhan batin disebut juga “basic needs” bersifat material dan universal, kebutuhan lahir disebut juga “instrumental needs”.
      c.      Paradigma usia lanjut sejahtera
·         Positif
·         Proaktif
·         Non diskriminatif
·         Akomodatif/kondusif
·         suportif
      d.      Mencapai usia lanjut sehat, tua berguna, bahagia dan sejahtera.

C.  Sistem Rujukan
      Tujuannya : agar penderita gangguan jiwa yang memerlukan tindak lanjut mendapatkan terapi yang memadai.

      Ketentuan untuk penderita yang dirujuk :
·         Dokter dan perawat harus menjelaskan kepada penderita tentang keperluan rujukan, tujuan rujukan dan kepentingan konsultatif selanjutnya.
·         System rujukan harus berjalan sesuai alur dan dapat ditindak lanjuti oleh dokter pengirim atau Puskesmas dengan adanya rujukan balik.
·         Kasus yang dirujuk adalah kasus yang tidak dapat ditangani di Puskesmas dan memerlukan tindakan lebih lanjut di instansi kesehatan yang lebih tinggi atau fasilitas pelayanan lainnya dan Puskesmas dapat menerima kasus rujukan dari instansi lainnya.
·         Kriteria kasus yang dirujuk :
v    Kasus psikologis rujukan dari RS Jiwa dengan buku passport rujukan yang kambuh kembali menunjukkan gejala psikotik.
v    Kasus gelandangan spikotik
v    Kasus neurosisi cemas, psikosomatik dan diagnosa meragukan
v    Kasus neurosis dengan keinginan tentamen suicidium
v    Kasus retradisi mental dengan gangguan tingkah laku
v    Kasus penyalahguanan obat/zat aditif dengan masalah intoksidasi / withdrawal sindrom.
v    Masalah epilepsi dengan gangguan tingkah laku
v    Kasus gangguan kepribadian tingkah laku
v    Kasus gangguan kepribadian dengan masalah
v    Kasus gangguan kesehatan jiwa anak dan rujukan yang sulit ditangani oleh Puskesmas

MAKALAH HUKUM PIDANA EKONOMI


BAB I
PENDAHULUAN

          Pada era globalisasi, ini batas wilayah terasa semakin sempit. Peristiwa yang terjadi di negara lain seperti itu juga dapat diketahui di seluruh dunia, ini antara lain karena kemajuan teknologi telekomunikasi.
          Karena batas wilayah terasa semakin sempit dan juga karena adanya era perdagangan bebas maka setiap pelaku bisnis dapat mengadakan transaksi bisnis ke negara-negara lainnya.
          Berkaitan dengan hubungan antar negara begitu juga bagi pelaku bisnis maka tidak dapat dihindari suasana saling pengaruh-mempengaruhi dan timbulnya perlunya pembaharuan peraturan perundang-undangan yang telah usang pun menjadi penting pula.
          Dahulu subjek hukum pidana adalah orang, hal ini dapat dilihat dalam rumusan ”dimulai dengan barang siapa”, adanya jenis pidana mati juga adanya jenis pidana kurungan. Namun sekarang karena perkembangan perekonomian dan kebutuhan bisnis maka dalam subjek hukum pun terjadi perkembangan khususnya subjek hukum pidana.
          Makalah ini membahas mengenai perkembangan subjek hukum pidana khususnya korporasi yang menjadi subjek hukum pidana, juga akan dibahas mengenai korporasi dan pemidanaan, disamping itu dibahas mengenai korporasi dan pembaharuan perundang-undangan yang terakhir, akhirnya akan dibahas mengenai penegakan hukum pidana dalam korporasi.



BAB II
PERKEMBANGAN SUBJEK HUKUM PIDANA

A.      Arti Korporasi
          Mengenai korporasi di kalangan para sarjana berkembang 2 pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang sudah berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat diperganggungjawab-kan secara pidana adalah korporasi yang sudah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak kewajiban dalam korporasi tersebut.
          Pendapat lain adalah yang bersifat luas, di mana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.[1]
         
B.      Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
          Berdasarkan hukum yang berlaku sekarang yang dianggap subjek dalam hukum pidana adalah manusia karena hanya manusia yang dapat dipersalahkan dalam suatu tindak pidana. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan suatu perkumpulan menjadi subjek tindak pidana tetapi dalam hal ini tetap saja para pengurusnya atau para pemimpin perkumpulan itu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Sedangkan badan hukumnya atau perkumpulannya tidak dikenakan pidana, berbeda dengan negara seperti Belanda, Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura perkumpulan atau korporasinya pun dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena menurut perundang-undangan mereka korporasi menjadi subjek hukum pidana.
          Sesungguhnya mengenai korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana telah diperkenalkan oleh Undang Undang No. 7/DRT/ 1955 tentang Hukum Pidana Ekonomi, kalaupun belum ada putusan pengadilan mengenai pidana tentang korporasi sebagai badan hukum. Dalam perkembangannya di Indonesia korporasi-korporasi sebagai subjek hukum pun dapat dilihat dalam Undang Undang Pengolahan Lingkungan Hidup. Kebutuhan akan pentingnya korporasi menjadi subjek hukum pidana kiran terasa akibat dari pergaulan internasional khususnya dalam bisnis dimana negara-negara lain pun telah memasukkan korporasi secara tegas sejak lama misalnya di Inggris sejak tahun 1872.

C.      Kejahatan Korporasi
          Konsekuensi korporasi menjadi subjek hukum adalah bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,  oleh karenanya tentu korporasi dapat melakukan kejahatan yang bisa dikenai perumusan pasal.
          Kejahatan korporasi selalu berkaitan dengan usaha perdagangan, misalnya penyuapan, manipulasi pajak, persaingan tidak sehat, informasi menyesatkan, penentuan harga, produk yang salah, polusi lingkungan dan lain-lain.
          Oleh karena korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana maka penentuan pidananya dapat berupa pidana denda, suatu tindakan memulihkan keadaan seperti sebelum adanya kerusakan oleh suatu usaha, penutupan perusahaan dan ganti kerugian. Mengenai ganti kerugian ini adalah ganti kerugian yang berbeda dengan ganti kerugian hukum perdata tetapi merupakan ganti kerugian sebagai salah satu bentuk pidana.
          Penjatuhan ganti kerugian pada korporasi dapat berupa ganti kerugian kepada korban dan juga dapat merupakan ganti kerusakan yang telah ditimbulkan.



BAB III
HAL-HAL YANG RELEVAN DENGAN KORPORASI

A.      Korporasi dan Pemidanaan
                    Dalam sejarah pemidanaan diawali dengan konsep pembalasan namun kemudian berkembang menjadi konsep perbaikan. Hal ini bisa terlihat dari perubahan konsep penjara menjadi konsep pemasyarakatan, artinya pelaku tindak pidana dididik dan dibina untuk dikembalikan kembali ke masyarakat sebagai orang yang baik.
                    Di dalam Pasal 50 Rancangan Kitab Undang-undnag Hukum Pidana tahun 2000 diutarakan pemidanaan adalah :
          1.       mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,
          2.       memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna,
          c.       menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan

MAKALAH KEUNTUNGAN PEBISNIS MEMILIH ARBITRASE


BAB I
PENDAHULUAN

          Transaksi bisnis umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualis, kepercayaan (trust) di antara ara pihak, namun hal itu tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan di antara para pihak. Perselisihan tersebut dapat menimbulkan sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian hukumnya. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan.
          Peranan badan arbitrase komersial di dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis di bidang perdagangan internasional maupun internasional dewasa ini menjadi semakin penting. Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase. Dan memang bagi kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberi keuntungan sendiri daripada melalui badan peradilan nasional.
          Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LLM., secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam tiga golongan :[1]
1.       penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik berupa negosiasi yang bersifat langsung (negotiation simplisiter) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi);
2.       penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional;
3.       penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad hoc maupun yang terlembaga.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah perusahaan yang bonafide dan gentlemen. Pihak yang menang berusaha supaya putusan arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum. Pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalang-halangi eksekusi.
          Kini undang-undang khusus yang mengatur tentang arbitrase telah lahir di Indonesia, yakni Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Tentu saja undang-undang ini dapat membuat hati pencari keadilan seperti berbunga-bunga. Betapa tidak, dengan dikuatkannya lembaga arbitrase dan juga berbagai alternatif penyelesaian sengketa lainnya dalam suatu undang-undang, maka timbul secercah harapan bahwa penyelesaian sengketa dapat diselesaikan secara lebih efektif dan efisien. Paling tidak, jauh dan sangat jauh lebih baik ketimbang rekanan konvensionalnya berupa badan pengadilan. Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang tentang Arbitrase ini akan tercipta bingkai-bingkai di mana sebuah harapan digantungkan, yang umumnya merupakan harapan dari mereka yang selama ini melakukan sumpah serapah kepada badan-badan pengadilan yang konvensional, di mana badan-badan pengadilan tersebut di Indonesia ini lebih banyak memutuskan dengan bernalar ”naif” ketimbang ”reasonable”. Paling tidak, demikianlah anggapan banyak orang.
          Makalah ini akan membahas mengenai berbagai keuntungan yang diperoleh oleh pelaku bisnis jika memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Makalah diawali dengan pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan melihat arbitrase pada umumnya, selanjutnya diikuti dengan beberapa landasan yang dipakai oleh pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya, baru kemudian disusul dengan uraian mengenai keuntungan-keuntungan memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Akhirnya makalah ditutup dengan kesimpulan dan saran.

BAB II
ARBITRASE PADA UMUMNYA

A.      Pengertian Arbitrase
          Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :
1.       Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa :
          a.    Kontraversi pendapat (controversy)
          b.    Kesalahan pengertian (misunderstanding)
          c.    Ketidaksepakatan (disagreement)
2.       Pelanggaran perjanjian (breach of contract) termasuk di dalamnya adalah :
          a.    Sah atau tidaknya kontrak;
          b.    Berlaku atau tidaknya kontrak;
3.       Pengakhiran kontrak (termination of contract)
4.       Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.
Arbitrase merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan ”pengadilan wasit”. Sehingga para ”arbiter” dalam peradilan arbitrase berfungsi memang layaknya seorang ”wasit” (refree) seumpama wasit dalam suatu pertandingan bola kaki.
Yang dimaksud dengan ”arbitrase” adalah submission of controversies, by agreement of the parties thereto, to persons chosen by themselves for determination (suatu pengajuan sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan). (Gifis, Steven H.)
Dalam suatu sumber, arbitrase dimaksudkan sebagai :
          Menurut yang tertulis, ialah memeriksa sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak atau lebih yang bertentangan diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan, atau arbitrator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur arbitration, kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan menerima keputusan arbitrator… (Abdurrachman, A.)

Dalam suatu sumber yang lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah the submission for determination of disputed matter to private unofficial persons selected in manner provided by law or agreement  (pengajuan suatu sengketa untuk diputuskan oleh orang-orang swasta yang tidak resmi, yang dipilih dengan cara yang ditetapkan oleh peraturan atau oleh suatu perjanjian). (Black, Henry Champbell.)
Kemudian, menurut Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah :
          Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (vide Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999)

Dari beberapa definisi arbitrase tersebut di atas, dapat ditarik beberapa karakteristik yuridis dari arbitrase. Karakteristik yuridis tersebut adalah sebagai berikut :
1.       Adanya kontroversi di antara para pihak.
2.       Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter.
3.       Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu.
4.       Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum.
5.       Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian.
6.       Arbiter melakukan pemeriksaan perkara.
7.       Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan Putusan arbitrase tersebut dan mengikat para pihak.
Sungguhpun yang namanya arbitrase itu bermacam ragamnya, dan pengaturannya juga berbeda-beda dari suatu negara ke negara lainnya, namun demikian dapat disebutkan bahwa suatu arbitrase modern haruslah memiliki syarat-syarat minimal sebagai berikut :
1.       Badan pengadilan konvensional mengakui yurisdiksi badan arbitrase.
2.       Klausula/kontrak arbitrase mengikat dan tidak dapat dibatalkan.
3.       Putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final and binding, dan hanya dapat ditinjau kembali oleh badan pengadilan konvensional dalam hal-hal yang sangat khusus dan terbatas.
4.       Badan-badan pengadilan konvensional harus dapat memperlancar tugas arbitrase.
Selain itu, terhadap suatu arbitrase modern haruslah dilaksanakan hal-hal sebagai berikut :
1.       Selalu dirumuskan dan diterapkan tujuan dan cita-cita terhadap arbitrase yang mungkin dicapai.
2.       Ketentuan tentang arbitrase haruslah merefleksi common sense dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada di negara yang bersangkutan (local reguirements).
3.       Secara periodik hukum tentang arbitrase harus selalu diperlengkapi oleh mereka yang benar-benar kompeten.
4.       Hukum tentang arbitrase harus diperlengkapi oleh mereka yang benar-benar kompeten.
5.       Hukum tentang arbitrase harus dilengkapi mengikuti perkembangan kasus-kasus yang diperiksa, tetapi tidak boleh bias.
6.       Harus cepat menyerap, merespons dan melaksanakan perubahan-perubahan tanpa perlu membuang waktu.
7.       Lawyer yang baik tidak selamanya menjadi pemimpin yang baik. Jadi perkembangan pembaharuan arbitrase tidak selalu mengikuti perkembangan kasus-kasus besar dengan lawyer yang hebat-hebat. (Asia Pacific Forum, 1997 : 12)[2]

B.      Prinsip-Prinsip Arbitrase
Arbitrase sebagai alternatif badan penyelesaian sengketa mempunyai beberapa prinsip sebagai berikut :
1.       The low of parties
          Artinya para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan.
2.       The low of procedures
3.       Of good faith
          Artinya bahwa itikad baik sangat dijunjung tinggi dan bisa diwujudkan dalam bentuk tertulis atau lisan.
4.       Of cooperation
          Artinya kerjasama yang dikedepankan dalam mencari kebenaran, penerapan hukum ataupun menyelesaikan/memecahkan masalah.
5.       Of non confrontations
          Artinya pertentangan bukanlah prinsip yang dipakai dalam arbitrase tetapi kerjasama dalam mencari pemecahan masalah.
6.       Of time limitations
          Artinya batas waktu penyelesaian sengketa sudah ditetapkan dan tidak boleh melebihi batas yang ditentukan.
7.       Of independence
          Di sini Ketua BANI tidak pernah mendiskusikan sengketa yang sedang diselesaikan oleh Majelis.
8.       Of contradictions
          Artinya kalau pemohon mengajukan suatu dalam time of reference si pemohon bisa membenarkan atau menidakkan.
9.       Of confidencial
          Artinya kepercayaanlah yang dikedepankan dalam menyerahkan penyelesaian persoalan/sengketa kepada Majelis atau Arbiter.
10.     Of non publications
          Artinya setiap pemecahan masalah yang diambil tidak dipublikasikan kepada umum, jadi yang mengetahui hanya kedua belah pihak dan Arbiter.
11.     Of non interfence
          Artinya pihak lain tidak bisa mencampuri Majelis atau Arbiter.
12.     Dalam bidang hukum arbitrase :
          a.    Competence
          b.    Separability
          c.    Inquisitoir
          d.    Adversarial
          e.    International, Universal, Global & Trans Nasional

BAB III
KEUNTUNGAN PELAKU BISNIS MEMILIH ARBITRASE

A.      Beberapa Landasan Pelaku Bisnis
1.       Kemitraan
               Di dalam lalu lintas kalangan bisnis, hal yang pokok adalah mitra. Relasi dengan mitra usaha perlu dijaga kelancaran dan kesinambungannya. Hal ini disebabkan eksistensi pebisnis sangat tergantung dari relasinya. Mitra dianggap sebagai asset, begitu pula faktor produksi seperti karyawan dan juga jaringan merupakan asset. Tanpa mitra, karyawan dan jaringan maka sasaran atau tujuan perusahaan tidak akan tercapai.
2.       Itikad Baik dan Kepercayaan
               Hubungan dengan relasi atau mitra harus didasarkan pada itikad baik dan kepercayaan. Pentingnya itikad baik dalam kontrak pebisnis menjadikannya sebagai tolok ukur apakah hubungan bisnis akan berlanjut atau tidak. Hubungan bisnis harus didasarkan pada hubungan saling menguntungkan, dan hubungan saling menguntungkan dilandasi dengan itikad baik. Begitu pula halnya dengan kepercayaan, percaya atau tidak dalam berbisnis menentukan kesinambungan dalam berusaha sebagai rekanan atau lainnya.
               Kepercayaan harus dibungkus dengan itikad baik, sehingga terjalin dan terjaga eksistensi kemitraan yang saling menguntungkan dalam upaya mencapai tujuan.

3.       Efisiensi dan Orientasi Mencari Keuntungan
               Setiap pelaku usaha pasti berorientasi mencari keuntungan. Produk usaha berupa barang atau jasalah yang akan dijual. Sesuai dengan Prinsip Ekonomi, dengan modal sedikit diharapkan memperoleh untung yang banyak. Dalam kaitan produk usaha berupa barang dan jasa, maka peran penjual/ distributor dalam menghasilkan laba adalah dominan. Penjual/distributor adalah ujung tombak kemajuan usaha, berikut juga dengan jaringannya.
               Dari segi pengusaha faktor yang terpenting lainnya adalah efisiensi, baik efisiensi dalam biaya produksi, biaya pemasaran, dan lain-lain dalam upaya mencari laba sebanya-banyaknya untuk perusahaan.
          Ketiga landasan ini selayaknya dipakai dalam kontrak bisnis. Namun dalam kenyataannya walaupun ketiga hal itu telah dipakai, tidak menutup kemungkinan timbulnya masalah. Sengketa yang timbul harus disesuaikan dengan cara efisien pula baik dari segi waktu atau biaya, karena bagaimanapun efisiensi adalah suatu hal yang mutlak dan sangat penting.

B       Tolok Ukur Memilih Penyelesaian Sengketa
          Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan. Dan model penyelesaian yang sangat populer adalah apa yang disebut dengan ”arbitrase” itu.
          Akan tetapi, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun tidak sepopuler lembaga arbitrase.
          Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.       Haruslah efisien dari segi waktu.
2.       Haruslah hemat biaya.
3.       Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh.
4.       Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
5.       Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
6.       Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa.
7.       Putusannya haruslah final dan mengikat.
8.       Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
9.       Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti di mana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat. (Kanowitz, Leo, 1985)

C.      Keuntungan-Keuntungan Pelaku Bisnis Memilih Arbitrase
Di tengah kenyataan adanya citra dunia peradilan di Indonesia yang tidak begitu baik, maka pilihan yang tepat bagi pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa adalah dengan memakai arbitrase. Dasar dari pemilihan tersebut adalah hal yang rasional yaitu efisiensi di mana setiap pelaku bisnis selalu cenderung menerapkan efisiensi biaya dan waktu.
Keuntungan-keuntungan memilih arbitrase :
          Dari segi prosesual, arbitrase menekankan pada konsensus atau kesepakatan para pihak, keadilan menjadi tujuannya, kepuasan akan sifat ”private” dari arbitrase, keputusan yang final dari arbitrase dan juga fleksibelitas sifat dari arbitrase.[3]
          Badan arbitrase komersial internasional ini sekarang ini menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai. Alasan-alasan para pengusaha menyukai badan ini daripada pengadilan nasional bermacam-macam. Yakni, umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari masyarakat penguasa (bisnis) internasional; pengadilan nasional identik dengan sistem ekonomi, hukum dan politik dari negara-negara tempat pengadilan nasional tersebut berada yang berbeda dengan sistem para pengusaha (bisnis). Sebaliknya, arbitrase komersial internasional merupakan ”pengadilan pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di antara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan/keinginan mereka.
          Seperti kita telah pula maklumi, berperkara melalui pengadilan biasa (nasional suatu negara) telah umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan perkara, belum lagi kalau adanya kongesti (tunggakan perkara yang harus diselesaikan), yang berarti tertunda-tundanya keputusan yang hendak dikeluarkan, dan masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau masyarakat bisnis agak enggan berproses perkara melalui pengadilan.
          Telah menjadi rahasia bersama bahwa berperkara melalui pengadilan acapkali memakan waktu yang relatif lama. Hakim yang mengadili tidak hanya berhadapan dengan satu atau dua perkara saja pada waktu yang bersamaan. Dalam prakteknya, ia dihadapkan lebih dari dua-tiga perkara dalam suatu masa tugasnya. Akibatnya ia harus membagi-bagikan prioritas dan waktu untuk perkara-perkara mana yang didahulukan dan mana yang tidak terlalu mendesak.  Hal ini sudah barang tentu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain yang mendukung cepat-tidaknya proses penyelesaian suatu perkara.
          Sehubungan dengan alasan di atas, perlu pula diperhatikan bahwa banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi hukum komersial internasional. Sehingga karena keadaan ini pula mengapa para pihak lebih suka cara arbitrase.
          Selain itu pula dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara yang bersangkutan telah selesai. Sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan tersebut, ia masih punya saluran laihn untuk ”melampiaskan” ketidakpuasannya ke pengadilan yang lebih tinggi, yakni tingkat banding. Dan seperti halnya pengalaman di pengadilan sebelumnya (tingkat pertama), di sini pun lamanya putusan yang dikeluarkan kemungkinannya besar. Sehingga dari gambaran ini tampak bahwa berproses perkara melalui pengadilan bisa memakan waktu yang berlarut-larut.
          Sebagai konsekuensi logis dari lamanya proses berperkara melalui pengadilan ini, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk itu, misalnya saja biaya ahli hukum dan ongkos-ongkos lainnya, akan bertambah terus (mahal). Akibat sampingan lain dari situasi seperti ini, misalnya, adalah berkurangnya waktu untuk berusaha (dagang). Ini berarti akan berpengaruh pula pada kelancaran dan produktivitas perusahaannya.
          Berlainan dengan proses pengadilan biasa di atas, sebagian besar penulis berpendapat bahwa berperkara melalui arbitrase lebih murah. Sebagai contoh, biaya administratif (untuk pendaftaran) yang di dalam kerangka arbitrase ICSID adalah US$ 100. Biaya untuk arbitrator adalah US$ 650 per hari plus biaya-biaya perjalanan dan biaya hidup lainnya.
          Lain halnya dengan badan pengadilan, keputusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat. Tidak ada kamus banding sebagai tandingan terhadap keputusan yang dikeluarkan.
          Kelebihan lainnya, yakni bahwa berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel. Tidak ada tata cara proses perkara yang mutlak harus dijalani (kaku). ”Hakim”, dalam hal ini arbitratornya, tidak perlu pula terikat dengan aturan-aturan proses berperkara seperti halnya yang terjadi pada pengadilan nasional. Tidak ada keharusan untuk berperkara di tempat tertentu, karena para pihak sendirilah yang memiliki kebebasan untuk menentukan tempat arbitrase bersidang, dan sekaligus hukum yang akan dipakai atau bahasa yang akan dipergunakan (manakala sengketa tersebut sifatnya internasional).
          Karena sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formil-formilan ini nantinya berpengaruh pula pada cara pihak yang bersengketa. Yakni, mereka menjadi tidak terlalu ”bersitegang” di dalam proses penyelesaian perkara. Iklim seperti ini sudah barang tentu akan sangat konstruktif dan akan mendorong semangat kerja sama para pihak di dalam proses penyelesaian perkara. Hal ini berarti pula akan mempercepat proses penyelesaian perkara yang bersangkutan.
          Alasan lain yaitu bahwa melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih ”hakim” (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka baik dari segi keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu bidang tertentu. Di sini arbitrator yang mereka pilih untuk menangani perkara atau sengketanya tidak harus selalu sarjana atau ahli hukum. Bisa saja ahli ekonomi, ahli perdagangan, insinyur, dan lain-lain. Sebagai ilustrasi, di antara delapan pejabat teras (director) AAA (American Arbitration Association), dua orang adalah ahli mediator dan arbitrase, empat orang ahli hukum yakni masing-masing konsultan hukum, ahli hukum perusahaan, hukum perbankan dan asuransi, ahli hukum perburuhan, dan mantan kepala LBH (Lembaga Bantuan Hukum) pada suatu negara bagian Amerika Serikat. Dua direktur lainnya yang peranannya sangat penting adalah ikut sertanya bos-bos perusahaan multinasional Amerika Serikat di dalamnya. Kedua direktur Terakhir ini yakni W. Thomas Knight adalah senior vice president, secretary dan sekaligus pula general counsel dari perusahaan Avon Products, Inc. Dan Thomas R. Long adalah juga senior vice president, dan the general counsel pada perusahaan Westvaco Corporation.
          Faktor kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan merupakan juga alasan utama mengapa badan arbitrase ini menjadi primadona para pengusaha. Sebab melalui arbitrase tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan keputusan arbitrase sebagaimana halnya yang terjadi pada pengadilan (nasional) biasa. Dengan adanya kerahasiaan ini, nama baik atau image para pihak tetap terlindungi. Sementara bagi perusahaan, mereka dapat menjaga kerahasiaan informasi-informasi dagang mereka.
          Keuntungan lain dari arbitrase komersial internasional ini adalah tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya. Salah seorang pengamat Amerika menyatakan : The desirability of arbitration among businessman is enbanced by unpredictable conflicts of laws rules.
          Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum (tertentu)saja, tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi di antara para pihak. Hal ini dimungkinkan manakala para arbitrator menemui kesulitan untuk memastikan apa yang menjadi sebab atau sebab-sebab timbulnya suatu sengketa dan pihak  mana yang bertanggung jawab karenanya. Keadaan ini timbul karena persidangan arbitrase biasanya diminta dan diadakan setelah beberapa waktu lamanya setelah klaim diajukan oleh para pihak. Karena adanya jenjang waktu yang cukup lama ini, para arbitrator kadangkala menemui kesulitan dalam merekonstruksi fakta-fakta yang relevan dalam keadaan yang aslinya. Dan cara penyelesaian arbitrase secara kompromi ini disebut juga dengan conciliatory arbitration.
          Sebagai kesimpulan tentang keuntungan arbitrase ini, kiranya cukuplah penting untuk dituliskan pernyataan Prof. Pieter Sanders yang berbunyi sebagai berikut : Arbitration ... is a service to the international community looking for a speedy, efficient, fair and, if possible, less expensive solution for disputes that may allways arise out of international relations.

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
          Berdasarkan uraian tentang keuntungan-keuntungan memilih arbitrase maka kesimpulannya adalah bahwa yang paling ideal bagi pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketa adalah arbitrase. Alasannya adalah bahwa arbitrase merupakan penyelesaian yang efisien karena dilandasi oleh itikad baik, kerjasama dan tanpa konfrontasi. Hal ini membuat pemecahan masalah yang bersifat
win - win solution”. Berbeda dengan penyelesaian di pengadilan yang bersifat “win - loose” dan juga berfilosopi pertentangan dan pertikaian.

B.      Saran
Alangkah baiknya setiap kontrak yang dibuat oleh pelaku bisnis memuat klausula arbitrase, sehingga penyelesaian sengketa dapat diselesaikan dengan cepat, murah dan hubungan bisnis tetap terjaga/ berlangsung.


[1] Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Hal 4.
[2] Fuady., Munir., S.H., M.H., LL.M., Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 14
[3] Prof., Dr., H., Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D., D.IAA., Fell. BISS, Arbitration, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Jakarta.

MAKALAH CONSURMERISM


KONSUMERISME


Dalam beberapa dasawarsa terakhir, sebuah gerakan sosial telah muntul untukmemastikan bahwa suara konsumen harus didengar dan ditanggapi. Gerakan tersebut lebih dikenal dengan istilah konsumerisme (consumerism), yaitu suatu kebijakan dan aktivitas yang dirancang untuk melindungi kepentingan dan hak konsumen ketika mereka terlibat dalam sautu hubungan tukar menukar dengan organisasi jenis apapun. Sedangkan menurut Charles H. Percy dan juga mantan presiden Bell dan Howel, konsumerisme dimaksudkan sebagai “reaksi masyarakat luas terhadap kelalaian birokrasi dan ketidak pedulian perusahaan kepada masyarakat.
Dalam membahas tentang konsumerisme kali ini perhatian kita adalah tanggung jawab sosial dari perusahaan kepada masyarakat. Robin dan Reidenbach mengatakan bahwa ada kontak sosial antara perusahaan dan masyarakat. Tercantum dalam kontrak ini adalah tanggung jawab untuk menganggapi secara serius seperangkat hubungan yang diterima secara umum, kewajiban dan tugas yang berhubungan dengan dampak perusahaan pada kesejahteraan masyarakat.

A. Perkembangan Konsumerisme
            Konsumerisme memiliki akar yang menjangkau jauh melewati dua dasawarsa terakhir, ketika nama ini diberikan pada aktivitas dari pemimpin terkenal seperti Ralp Nader. Alkitab khususnya kita Amsal, banyak menyebutkan tentang praktek bisnis yang menipu dan tidak bertanggung jawab. Pada masa merka, Thomas Aquinas, Martin Luther, John Calvin dan para tokoh reformasi lain juga memeiliki gerakan semacam konsumerisme. Kritikan secara khusus ditujukan pada praktek perdagangan/penjualan yang bersifat menipu.
            Sejarah menunjukkan bahwa konsumerisme meningkat drastis ketika era kenaikan penghasilan dengan pesat diikuti oleh penurunan daya beli riil dari masyarakat. Lingkungan harus mendukung munculnya pemimpin gerakan tersebut, yang pada umumnya berasal dari kalangan orang-orang yang memiliki kekayaan dan penghasilan diatas rata-rata.
            Aliansi dapat dikatakan sebagai faktor pencetus utama. Aliansi terjadi ketika sebab-sebab utama yang mendorong rasa ketidakpuasan konsumen tidak ditangani secara tuntas. Sebagai akibatnya tanggapan yang pada mulanya bersifat defensif berubah menjadi tekanan, boikot dan seterusnya. Konsumerisme timbul karena kelalaian perusahan atau organisasi lain dalam hubungan pertukaran untuk memenuhi dan merespon terhadap permintaan konsumen. Praktek perusahaan yang responsive secara sosial dapat mengantisipasi gerakan ini.

1. Periode Awal Tahun 1900-an
            Aktivitas konsumen pada abad ini menghasilkan perkembangan murni dalam legaslasi protective sebelum mereda secara bertahap. Upton Sinclair menerbitkan The Jungle pada tahun 1906 yang mengungkapkan kekotoran yang menyelubungi industri pengemasan daging di Chichago. Tahun 1906, Meat Inspection act disahkan untuk memenuhi isu spesifik yang dikembangkan oleh Sinclair dan Pure Food and Drug Administration, sebuah badan yang ditugaskan untuk mencegah munculnya makanan dan obat-obatan yang diberi merk menyesatkan dan palsu dalam perdagangan antar negara bagian.
            Tahun 1914, Federal Trade Comosion (FTC) dibentuk untuk mengekang monopoli dan praktek daganga yang memiliki potensi untuk berbuat curang pada perusahaan-perusahaan yang bersaing. Namun komunitas bisnis tetap tidak peduli pada perlindingan terhadap konsumen dan gerakan konsumen pun berangsur-angsur mereda dan tetap diam hingga menjelang tahun 1930.

2. Periode Tahun 1930-an
            Pada tahun 1920 barang-barang mulai membanjiri pasaran, sejalan dengan itu promosi juga dilakukan secara gencar, baik melalui iklan-iklan radio maupun majalah. Dilain pihak konsumerisme juga mulai berkembang terutama dengan terbitnya buku berjudul Your Money’s Worth yang disusun oleh Stuart Chase dan J.J. Schlink. Buku ini menyoroti manipulasi dan tipuan dalam praktek iklan. Diperlukan pengujian ilmiah dan penerbitan standar produk untuk memberikan informasi kepada konsumen sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hal ini mendorong dibentuknya consumer’s research incorporated yang merupakan pelopor consumers union.
            Jatuhnya pasar saham tahun 1929 mencegah penyebaran gerakan konsumen. Sebagai gantinya, upaya lebih diarahkan pada pendidikan konsumen. Diterima amandemen Wheler Lea untuk Federal Trade Comosion Act tahun 1938 berarti merupakan langkah maju. Dibandingkan undang-undang ini FTC menjadi penjaga konsumen dan bukan sekedar pengatur. Secara khusus FTC diberi kekuasaan untuk menuntut praktek perdagangan yang melanggar undang-undang.
            Dengan demikian jelas bahwa tekanan konsumerisme berkembang pada akhir tahun 1930-an. Pimpinan perusahaan menjadi lebih terbuka oleh survey yang dilakukan oleh Gallup yang menunjukkan bahwa gerakan konsumerisme meningkat. Namun perang dunia II mengalihkan perhatian menjauhi isu-isu tersebut.

3. Periode Tahun 1960-an
            Gerakan konsumerisme modern benar-benar memiliki fondasi yang kuat tahun 1960-an. Buku yang berpengaruh pada waktu itu adalah The Hidden Persuaders oleh Vance Packard yang terbit tahun 1957. Pockard beragumen bahwa konsumen tengah dimanipulasi secara tidak sadar oleh iklan. Reaksi terhadap buku tersebut menyingkap bahwa minat masyarakat terhadap masalah konsumen ternyata belum mereda, bahkan mengambil bentuk yang lebih maju.
            Anti trust dan monopoli subcommitee dari senator Estes Kefanfer menyelidiki industri obat-obat resep tahun 1959, yang meningkatkan kesadaran dan kepedulian publik. Konsumerisme baru (sekarang) biasanya dikaitkan dengan pesan presiden John F. Kennedy kepada kongres yang disampaikan pada tanggal 15 Maret 1962, dimana ia mengajukan rancangan undang-undang mengenai hak konsumen. Kennedy menyatakan secara eksplisit bahwa pemerintah adalah penjamin tertinggi dari hak-hak yang sekaligus merupakan dasar bagi konsumerisme federal.

4. Periode Tahun 1980-an
            Banyak orang beranggapan bahwa peraturan pemerintah lebih merupakan hambatan dari pada membantu. Konservatisme ini diekspresikan dalam pemilihan  presiden Jimmy Carter dan Ronald Reagen. Walaupun pundaknya dicapai pada presiden Reagen. Hasilnya adalah deregulasi besar-besaran dibanyak industri atau tepatnya pengembalian kepercayaan pada peraturan pasar melalui koreksi sendiri.
            Hal ini bukan berarti bahwa kepedulian terhadap konsumerisme menurun. Sebuah studi oleh Harris and Associates mengungkapkan bahw kepedulian meningkat tetapi hanya sedikit yang berperan sebagai aktivis. Kekhawatirannya adalah tingkat harga dan suku bunga yang tinggi, mutu produk yang rendah dan pelayanan purna jual yang kurang.
            Aktivitas perlindungan konsumen dari badan pemerintah fereral, negara bagian dan industri swasta kurang dihargai. Namun gerakan konsumen dan dampaknya dievaluasi secara lebih baik. Hasil studi menunjukkan sikap masyarakat terhadap konsumerisme secara umum mendukung dan harus teatp kuat. Pembuatan kebijakan dalam pemerintah dievaluasi secara negatif, walaupun gerakan konsumerisme dihargai secara luas.

B. Hak-hak Konsumen
            Almarhum Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyebutkan 4 (empat) hak dasar konsumen yang dapat diterima secara umum sebagai inti dalam kontrak sosial, tetapi oleh consensus sosial ditambah dua lagi sehingga hak dasar konsumen menjadi enam. Hak - hak tersebut adalah :
1.      hak akan keselamatan
2.      hak untuk mendapatkan informasi
3.      hak untuk memilih
4.      hak untuk didengar (diberi ganti rugi)
5.      hak untuk menikmati lingkungan yang bersih
6.      tanggung jawab minoritas dan kaum miskin.

1. Hak Akan Keselamatan
            Bagian penting dalam RUU, mengenai hak konsumen yang diajukan oleh Kennedy berbunyi “konsumen mempunyai hak untuk dilindungi dari produk atau jasa yang berbahaya bagi kesehatan dan kehidupan”. Hak akan keselamatan dibuat secara spesifik dibawah Consumer Safety Commision (CPSC). Ada dua bagian pengatur lain yang berfokus pada isu keamanan. FTC, mempunyai mandat khusus untuk mengatur klaim dari perspektif pemakaian produk yang berbahaya. Traffic Safety Administration diberi wewenang untuk menuntut pabrik mobil agar memperbaiki cacat demi keselamatan.

2. Hak Untuk Mendapatkan Informasi
            RUU Kennedy menegaskan bahwa konsumen memiliki hak untuk dilindungi dari informasi iklan, pelabelan atau praktek lain yang dianggap curang, menipu atau menyesatkan dan untuk diberi fakta yang diperlukan untuk melakukan pilihan berdasarkan informasi. Hans Thorelli, mengatakan “konsumen yang diberi informasi adalah konsumen yang dilindungi dan lebih dari itu adalah konsumen bebas”. Hanya konsumen yang dapat memutuskan apakah informasi yang telah diterima itu berguna atau tidak.

3. Hak Untuk Memilih
            Secara umum UU ekonomi berbasis pasar mencakup prinsip laissez-faire, yang berpendapat bahwa konsumen mendapat pelayanan paling baik ketika perusahaan menghadapi persaingan bebas dan menawarkan pilihan tanpa kekangan. Sebagian orang berpendapat bahwa pilihan yang sehat dan bijaksana akan sulit untuk dilaksanakan bila terlalu banyak alternatif produk dan promosi. Sebagian yang lain berpendapat bahwa konsumen harus dipaksa melakukan apa yang terbaik untuk mereka, melepas dari preferensi pribadi. Bila kedua sudut pandang tersebut dijalankan, maka akan menyebabkan sejumlah pembatasan pilihan.
            Pendekatan yang lebih populer pada akhir tahun 1980-an adalah menjauh dari peraturan dan pembatasan tetapi mengarah pada pendidikan yang dirancang untuk menghasilkan pilihan yang terbaik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan untuk menganggulangi proses pemilihan yang kompleks dalam masyarakat konsumsi massal. Program tersebut mencakup unsur-unsur :
,       Pengetahuan formal tentang kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi produk teknis yang kompleks dan cara-cara untuk memilih secara logis.
,       Ketrampilan manajerial dan pengambilan keputusan konsumen dapat dibandingkan dengan ketrampilan yang dikembangkan di dalam pendidikan profesional.
,       Pengetahuan konsumen yang meningkat mengenai cara kerja perusahaan, pemerintah dan pasar.
,       Nilai dan suara hati yang akan mendorong respek dan perhatian kepada orang lain dalam penyegaran mereka akan konsumsi kolektif.

4. Hak Untuk Didengar (ganti rugi)
            Bagian keempat dari RUU Kennedy mengenai hak konsumen berbunyi “konsumen mempunyai hak untuk diyakinkan bahw kepentingan akan mendapat pertimbangan penuh dan simpatik dalam perumusan kebijakan pemerintah dan perlakukan adil dan cepat dalam pengadilan adminsitratifnya. Ganti rugi dapat dicapai dengan tiga cara, yaitu : pencegahan, restitusi dan hukuman. Komponen utama dari badan legislasi yang mengawasi restitusi dan hukuman dirinci dalam tabel sebagai berikut :

Tabel : Perbaikan Perlindungan Konsumen

Pencegahan
Restitusi
Hukuman
Tata laku

Penyingkapan persyaratan informasi

Penggantian klaim
Penyingkapan alternatif

Koreksi iklan


Pembayaran kembali, limitasi pada kontrak abritasi
Denda dan kurangan

Kehilangan laba


Gugatan hukum

5. Hak Untuk Menikmati Lingkungan Yang Bersih
            Polusi lingkungan merupakan produk sampingan yang patut mendapatkan perhatian serius pada abad teknologi. Suatu bukti menunjukkan bahwa kenaikan yang tajam karbon dioksida dan khloroflourokarbon (CFC) di atmosfir mengurangi lapisan ozon yang melindungi bumi dari radiasi yang berbahaya.
            Jika tidak dikendalikan, apa yang disebut sebagai efek “rumah akca” akan menaikan suhu diseluruh bumi dan dapat mengubah pola iklim. Sebagai alternatifnya ialah mengurangi pemakaian bahan bakar fosil dan alat pendingin yang menghasilkan CFC. Bila hal ini tidak dilakukan maka akan menimbulkan dampak yang besar pada standar kehidupan. Apakah kita bersedia membayar harganya ? Mungkin kita perlu terlibat dalam menciptkan demarketing, yaitu mengurangi jumlah pembelian dan bahkan tidak membeli produk yang mengandung unsur pencemaran.

6. Tanggung Jawab Minoritas dan Kaum Miskin
            Mengatasi kemiskinan dan minoritas merupakan masalah yang sangat sulit, bahkan negara maju pun belum dapat menuntaskan masalah ini. Negara-negara seperti Nairobi dan Kenya merupakan contoh negara yang harus menciptakan 1000 pekerja baru setiap hari bila ingin menanggulangi pertumbuhan populasi perkotaan.
            Perusahaan pada umumnya dan peneliti konsumen pada khususnya tidak dapat menghindari peran dalam menentukan jenis lingkungan perkotaan yang harus dibangun untuk masa datang dan cara-cara dimana ekuilitas yang lebih besar dapat dicapai.
            Para peneliti konsumen telah menyelidiki masalah mengenai bagaimana mereka yang paling banyak mengalami diskriminatisi dapat lebih efisien mengalokasikan sumber daya mereka yang terbatas. Selain itu dengan penelitian konsumen akan dapat meningkatkan efisiensi pemasaran dikalangan perusahaan dan organisasi yang melayani pasar yang beruntung. Sebagai contoh, perusahaan yang dimiliki oleh minoritas di bantu untuk mencapai pasar yang lebih luas.

C. Etika dan Konsumerisme
            Setiap organisasi selalu dihadapkan pada masalah realitas yang terus berubah, oleh sebab itu lebih dibutuhkan pendekatan prefentif dari pada yang bersifat reaktif terhadap konsumerisme. Konsumerisme bukan anti bisnis, melainkan kekuatan netral yang wajar sebagai respon terhadap aliansi.
            Sistem usaha bebas yang dikendalikan oleh pasar dibangun dengan asumsi bahwa pengusaha dan manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingannya yang sudah dicanangkan. Hal ini berarti keuntungan material akan menjadi motif penuntun, tetapi memperkenalkan kendala bahwa pasar harus benar-benar dilayani dengan focus pada kepentingan konsumen jangka panjang.
            Suasana kompetitif yang dihadapi perusahaan menghasilkan tekanan riil untuk mengkompromikan etika. Para pengambil keputusan perusahaan menghadapi dilema ini terus menerus. Gambar dibawah ini memperlihatkan bahwa perilaku manajerial yang bertanggung jawab dibentuk oleh lima dimensi. Dimensi yang paling mendasar adalah nilai dan kepercayaan konsumen. Kemudian dibentuk dalam suatu undang-undang yang mendefinisikan serta mengkodifikasi garis dasar etika. Semakin keatas akan semakin spesifik. Tingkat ketiga adalah kode etika industri, kemudian disusul kode perusahaan dan akhirnya akan menjadi operasional pada tingkat pengambilan keputusan individu.

Gambar Perilaku Managerial


 










Tanggung Jawab Pemasar  Terhadap Isu-Isu Konsumen
Pemasar menghadapi dua tantangan dalam isu konsumen ini. Pertama mereka harus meningkatkan level pengetahuan alami mengenai isu. kedua, mereka harus berdesain elemen organisasi  untuk merespon  konsumen secara efektif.

Memahami Isu
Masyarakat usaha biasanya memperhatikan tiga kemungkinan posisi dalam isu mengenai perlindungan konsumen :
1.       Jumlah dan keseriusan dari masalah konsumen tidak mewakili populasi penduduk    yang banyak.
2.       Sebagian kecil konsumen yang tanggap terhadap masalah, karena pengalaman dengan produk dan jasa.
3.       Mayoritas konsumen yang mengeluh pada produk dan jasa yang musti di pecah kan demi kepuasan konsumen.

Berdasarkan survei studi terhadap tanggapan perusahaan terhadap konsumerisme, secara keseluruhan mencermin kan sedikit tanggapan perusahaan terhadap kebutuhan kosumen.
1.             Sedikit perusahaan mempunyai progaram yang terencana untuk menanggapi konsumerisme.
2.   Banyak industri manufaktur percaya bahwa konsumerisme tidak berpengaruh pada keputusan mereka.
3. Banyak perusahaan mengklaim selalu “customer orinted” konsekuensinya kosumerisme tidak mempengaruhi mereka.
4.       Banyak perusahaan menolak mengenai konsumorisme dengan memandang sebagai peran terhadap pedagang dan pembeli.

Design sebuah sistem respon konsumen :
§         Mengerti mengenai pengalaman konsumen
§         Membuat sebuah badan penasehat konsumen
§         Mendengarkan konsumen dan menanggapinya secara efektif
§         Membuat bagian hubungan konsumen perusahaan
§         Mendidik konsumen