(JL. MATRAMAN DALAM 3 NO. 7, PEGANGSAAN, MENTENG, JAKARTA PUSAT) E-MAIL: mr.saputro83@gmail.com HP. 081283279783

PENDIDIKAN POLITIK UNTUK RAKYAT


PENDIDIKAN POLITIK UNTUK RAKYAT

BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
                        Jumlah partai politik (parpol) yang telah mencapai 225 buah menjadi bahan perbincangan tidak hanya di antara sesama fungsionaris dan aktifis parpol, apakah parpol besar maupun kecil. Masyarakat mensinyalir kebanyakan dari 225 parpol tersebut adalah yang gagal memenuhi persyaratan seleksi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, tetapi muncul kembali dengan nama baru, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “berbungkus baru namun   isinya stok lama”. Cara semacam ini sebagai “akal-akalan” atau membohongi rakyat. Sedangkan mekanisme seleksi atas 225 partai ke tangan rakyat, bukan di tangan pemerintah.
                        Bila kedua-duanya digabungkan, akan melahirkan satu masalah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, yaitu bagaimanakah agar rakyat yang akan diandalkan untuk memainkan peran sebagai hakim itu tidak terus-menerus bisa dibodohi oleh elite, pemimpin, fungsionaris, dan aktifis parpol. Jawabannya singkat, yaitu diperlukan apa yang dinamakan “Pendidikan Politik Untuk Rakyat (PPUR).
                        Tanpa adanya upaya PPUR, proses pembodohan terhadap rakyat akan mudah terus dilakukan oleh para elite dan pemimpin parpol dan rakyat tidak akan mampu memainkan perannya sebagai hakim yang judul dan adil.
                        Beberapa intelektual kampus tidak masuk ke dunia politik praktis, masuk ke suatu parpol atau malah mendirikan parpol baru.

BAB II
PEMBAHASAN

                        Disadari atau tidak, sejak mulai berniat mendirikan parpol, para intelektual kampus ini menghadapi dua pilihan, berpihak kepada rakyat atau berpihak kepada kepentingan pribadi atau kelompoknya.
                        Untuk menghindari rumusan yang vulgar, maka kepentingan pribadi atau kelompoknya itu dibungkus dalam rumusan kepentingan rakyat dan aspirasi rakyat. Tegasnya, apa yang diklaim sebagai kepentingan rakyat tersebut hanyalah hasil rumusan dari segelintir elite, pemimpin, fungsionaris, dan aktifis parpol, bukan dari hasil sebuah kongres atau muktamar. Semuanya itu mencerminkan betapa telah terseretnya intelektual kampus ke dalam pola pikir elite dan tingkah laku pemimpin parpol.
                        PPUR adalah upaya untuk menjadikan rakyat yang selama ini “buta huruf” dalam politik menjadi “melek huruf” dalam politik. Secara sederhana, politik yang terkait dalam kedua konsep tersebut diartikan sebagai sikap dan tingkah laku berdemokrasi dari rakyat.
                        Sebenarnya yang masih buta huruf dalam berdemokrasi tidak hanya rakyat, tetapi para elite dan pemimpin parpol itu sendiri.
                        PPUR akan memberikan dua pengetahuan kepada rakyat dan kedua konsep itu saling melengkapi dan saling mengisi satu sama lain. Pertama, pengetahuan rakyat tentang prinsip-prinsip demokrasi, mekanisme demokrasi, sikap dan tingkah laku berdemokrasi, seperti toleransi, berbeda pendapat dan pandangan, menjalin kerjasama dalam perbedaan yang tajam sekalipun, mematuhi aturan permainan, menjunjung tinggi etika dan moral politik, dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain, rakyat akan memiliki seperangkat kriteria yang dapat dipergunakan untuk menilai kehidupan demokrasi pada umumnya.
            Kedua, pengetahuan rakyat untuk menilai parpol dengan segala kelengkapan dan mekanismenya, seperti tujuan parpol, struktur organisasi parpol, program parpol, janji-janji parpol, pernyataan dan tingkah laku para elite dan pemimpin parpol. Dengan memiliki dua pengetahuan tersebut, diharapkan rakyat mempunyai “keahlian untuk membedah” dan sekaligus memakai “pisau bedah” guna menilai segala sesuatu yang berkaitan dengan parpol.
                        PPUR tidak berkepentingan untuk mengarahkan rakyat agar berafiliasi dengan suatu parpol dan juga tidak berkepentingan untuk menggiring atau memobilisasi rakyat agar memiliki sesuatu parpol tertentu dalam Pemilu. Secara ringkas, PPUR hanya semata-mata bertujuan untuk mencerdaskan bangsa dalam berpolitik dan berdemokrasi dengan tidak mencampuri hak asasi rakyat untuk berpolitik.
                        PPUR bukan semata-mata monopoli parpol, tetapi dapat juga dilakukan oleh lembaga non parpol.
                        Sebagai contoh di SMA Kanisius di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, apabila kita berkunjung ke sekolah tersebut bisa mendapatkan buku kecil dan tipis yang memaparkan materi pendidikan politik tentang komunisme dalam segala aspeknya. Melalui bacaan dalam bentuk tanya jawab itu, kita akhirnya memperoleh gambaran tentang komunisme serta baik buruknya.
                        PPUR sebaiknya ditangani oleh lembaga domestik, terutama lembaga non parpol yang hanya berkepentingan untuk mencerdaskan rakyat dalam berpolitik dan berdemokrasi.

BAB III
KESIMPULAN

                        Setelah membahas tentang pendidikan politik untuk rakyat, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan yaitu;
1.      Pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, konsep demokrasi yang berlaku secara universal telah dijadikan musuh yang harus dijauhkan dari kehidupan politik karena dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
2.      Reformasi yang menghendaki dikembangkannya demokratisasi bagi terciptanya landasan kehidupan demokrasi yang sebenarnya, ternyata tidak didukung oleh struktur sosial yang masih monolitik.
3.      Dalam situasi semacam ini, PPUR merupakan kebutuhan mutlak guna mencerdaskan rakyat dalam berpolitik dan berdemokrasi agar rakyat memiliki “senjata” untuk menilai perpolitikan Indonesia pada umumnya dan secara khusus untuk menilai parpol dengan segala kelengkapannya.


===================

PERANAN PERBANKAN DALAM PENEGAKAN
HUKUM NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

                        Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 2004 ternyata dibawah yang ditargetkan Pemerintah. Untuk dapat menyerap pertambahan pencari kerja baru, yang ada justru pengangguran malah meningkat. Ekonomi Indonesia harus tumbuh paling sedikit 6% artinya bila pertumbuhan ekonomi di bawah itu maka jumlah pengangguran akan semakin meningkat dan pada gilirannya akan membuat ekonomi Indonesia semakin rentan. Hal ini akan berpengaruh pada melemahnya penegakkan hukum di Indonesia sebab dengan makin banyaknya pengangguran akan makin banyak pula kejahatan.
                        Untuk dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih memadai, belakangan ini muncul keinginan agar sektor perbankan menjalankan fungsinya secara baik. Keinginan tersebut sangatlah wajar karena jumlah dana untuk membenahi perbankan sudah banyak. Namun fungsi intermediary bank belum memenuhi harapan, di samping kasus-kasus perbankan yang tak kunjung usai, Kepercayaan masyarakat terhadap bank semakin besar, sebab dinilai tidak bisa menjamin segala sesuatunya, kejahatan perbankan pun semakin marak, karena bagaimana pun juga hukum di Indonesia sangat lemah untuk melindungi dan mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang memang sangat rumit.

BAB II
PEMBENAHAN PERBANKAN DAN
PROSES PENEGAKAN HUKUM

                        Pada pertengahan tahun 1997 jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh seluruh bank umum adalah sebesar Rp 303.039 milyar dan dalam waktu yang sama berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp. 328.808 milyar. Pada akhir tahun 2002 yang lalu jumlah dana yang berhasil dihimpun oleh seluruh bank umum mencapai Rp. 845.015 milyar kredit yang berhasil disalurkan mencapai Rp. 365.410 milyar dan pada periode yang sama modal (equity) bank umum mencapai Rp. 93.697 milyar.
                        Data ini dengan jelas menunjukkan bahwa pembenahan sektor perbankan membutuhkan harga yang sangat mahal. Namun hal tersebut dilakukan guna menyelematkan dana pihak ketiga yang ada pada bank agar tidak terjadi capital flight atau pelarian dana keluar negeri. Selain itu, usaha tersebut diharapkan juga mampu menimbulkan kembali Kepercayaan masyarakat pada perbankan. Namun hendaknya sebelum rekapitalisasi terhadap perbankan dilakukan klarifikasi terhadap bank-bank yang layak maupun yang tidak layak secara transparan. Hal tersebut diperlukan guna menghindari pemanfaatan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menggaruk harta negara.
                        Tidak dapat disangkal bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini, keadaan perbankan tetap semakin tidak jelas. Sekarang tentunya menjadi pertanyaan apakah perkembangan ini berlaku untuk semua bank kalau tidak tindakan apa yang perlu dilakukan untuk menanggapinya. Keluhan dari pelaku usaha (sektor riil) atas sulitnya memperoleh kredit yang dibutuhkan tampaknya sangat beralasan. Pada tahun 1997 yang lalu perbandingan total kredit dengan GDP adalah sekitar 5,70% dan pada tahun 2002 yang lalu jauh lebih kecil dan mencapai hanya sekitar 48,2%.
                        Salah satu alasan perbankan enggan menyalurkan dana ke sektor riil karena bank yang bersangkutan kurang yakin dengan kemampuan sektor riil. Di sisi lain masih terbuka peluang untuk menyalurkan dana tanpa memikul resiko yang berarti yaitu dalam bentuk SBI. Bagaimana pun usaha untuk menjadikan bank menjalankan fungsi intermediarynya perlu dilakukan. Untuk itu otoritas terkait perlu mengkaji terlebih dahulu secara lebih rinci faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian kredit. Kebijakan pukul rata seperti yang pernah dilakukan di masa lalu harus dhindarkan agar para pengelola bank tidak memanfaatkan keadaan untuk kepentingan dirinya dengan bersembunyi di balik kebijakan yang diambil otoritas terkait tersebut. Selain itu, peningkatan harga minyak sejak beberapa bulan terakhir membuka peluang bagi pemerintah untuk melakukan stimulasi bagi perekonomian nasional. Salah satu alternatif yang mungkin adalah dengan merangsang sektor perbankan memberikan kredit ke sektor-sektor yang dapat berfungsi sebagai lokomotif ekonomi.
                        Bank dunia meramalkan ekonomi Indonesia hanya merangkak 3,3% tahun ini, angka itu lebih rendah dari proyeksi pemerintah 4%, menurut Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Jemal Ud-Din Kasum mengatakan turunnya angka pertumbuhan ekonomi adalah gejala umum di Asia Timur. Faktor utamanya adalah serangan AS ke Iram serta meluasnya wabah SARS. Bank Dunia memangkas pertumbuhan kawasan Asia Timur menjadi hanya 5% tahun ini, dan baru meningkat pada tahun 2004 sekitar 5,7%. Tahun lalu, kawasan ini mampu meraih pertumbuhan hingga 5,8%.

BAB III
RAPUHNYA PERBANKAN SEBAGAI
PENYEBAB KRISIS EKONOMI

                        Tekad untuk tidak mengulangi kesalahan masa silam umumnya lahir pada akhir krisis besar. Berapa langkah yang nyata untuk menuju Indonesia baru sudah diayun. Sukses perjalanan ini yang akan melibatkan ± 270 juta dalam 2025, memerlukan antara lain peningkatan keunggulan internasional. Lingkungan sepanjang perjalanan ini semakin padat peserta. Kebijakan baik tidak lagi terbatas pada oasis-oasis kecil di gurun perseteruan ideological sosialisme-kapitalisme sebagai kelimpahan global ia sudah menjadi syarat kepesertaan dalam persaingan dengan premium yang hampir hilang.
                        Di lain pihak perjalanan Indonesia baru harus berangkat dari Titik awal baru yang sarat penghalang. Sebagian dari penghalang ini sudah ada jauh sebelum krisis terjadi seperti korupsi besar, peran penting perburuhan rente dalam sukses bisnis dan stok modal manusia yang kecil. Keadaan memburuk selama masa krisis seperti tampak dalam penciutan output, pengangguran tinggi, Investasi yang rendah bahkan pada melarikan diri ke luar negeri, utang luar negeri dan dalam negeri yang sangat besar, kelas Pengusaha yang luka berat dan reputasi yang memudar sebabgai kawasan ekonomi. Dari kondisi awal yang berat inilah Indonesia harus meluncurkan kembali upayanya merebut keunggulan dalam dunia yang semakin padat persaingan dan semakin terbukanya kompleksibelitas.
                        Negara Indonesia sekarang menghadapi kendala keuangan yang sangat berat dan ketat. Tidak mungkin ia mengobrol insentif untuk memacu keunggulan bank-bank tertentu dalam pertumbuhan ekonomi. Sepanjang menyangkut ekonomi, tugas utamanya adalah memelihara kebijakan makro yang baik untuk menjamin stabilitas harga, tingkat bunga yang kompetitif secara global, rupiah yang dipercaya, pengangguran yang serendah mungkin dan keseimbangan neraca pembayaran. Tugas keduanya terletak dalam pemupukan modal manusia pada tahap pra kompetitif. Komposisi pengeluaran negara yang selama ini didominasi oleh modal fiscal ekonomi perlu digeser ke pemupukan modal manusia. Tugas ketiga adalah desain dan implementasi sistem insentif yang senetral mungkin. Terhadap luar negeri proteksi perbatasan perlu dipelihara sesuai praktek terbaik dikelompok negara sekelas dengan menghormati asas-asas dan aturan-aturan WTO dan persetujuan regional. Netralitasnya terhadap sektor maupun ruang, apalagi terhadap perusahaan perlu dimaksimasi dibidang perbatasan persaingan setajam-tajamnya perlu dihidupkan  kontrol harga, subsidi pajak diskriminatif, kkn dan penyalahgunaan kekuasaan pasar perlu diminimalisasi.


BAB IV
P E N U T U P

                        Undang-Undang anti monopoli dibentuk memang sudah ada komisinya pun sudah dibentuk. Tetapi keduanya pastilah bukan obat mujarab, jalan panjang masih harus dilalui Indonesia dalam penegakkan hukum perbankan dan ekonomi.
                        Langkah yang realistik bagi maksimasi persaingan domestik dalam konteks Indonesia sekarang adalah netralisasi sistem intensif.
                        Setiap penyimpangan dari asas non-diskirimatif seperti aksi afirmatif bagi usaha kecil harus diundangkan dan diselenggarakan secara kompetitif bagi kelompok target dengan tolok ukur kinerja yang transparan.
                        Dalam sistem insentif ini perbankan akan tertekan keras untuk memupuk kultur persaingan dan penafsiran yang baik, sedemikian sehingga perbankan yang lulus dalam persaingan domestik akan mempunyai peluang yang baik untuk lulus dalam persaingan global.