(JL. MATRAMAN DALAM 3 NO. 7, PEGANGSAAN, MENTENG, JAKARTA PUSAT) E-MAIL: mr.saputro83@gmail.com HP. 081283279783

MK. ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI


MK. ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI


A.   PERIHAL RISIKO, WANPRESTASI DAN KEADAAN MEMAKSA

              Kata risiko, berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya risiko ini dalam B.W.?
              Pasal 1237 menetapkan, bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya. Yang dimaksudkan oleh pasal tersebut ialah suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban hanya pada suatu pihak saja (eenzijdige overeenkomst), misalnya suatu shenking. Jadi jikalau seseorang menjanjikan akan memberikan seekor kuda (schenking) dan kuda ini belum diserahkan mati karena disambar petir, maka perjanjian dianggap hapus. Orang yang harus menyerahkan kuda bebas dari kewajiban untuk menyerahkan. Ia pun tidak usah memberikan sesuatu kerugian dan akhirnya yang menderita kerugian ini ialah orang yang akan menerima kuda itu.
              Akan tetapi, menurut pasal tersebut seterusnya, bila si berhutang (yang harus menyerahkan barang) itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan barangnya, maka sejak saat itu risiko berpindah di atas pundaknya, meskipun ia masih juga dapat dibebaskan dari pemikulan risiko itu, jika ia dapat membuktikan bahwa barang tersebut juga akan hapus seandainya sudah berada di tangan si berpiutang sendiri.
              Bagaimana sekarang halnya dengan risiko dalam perjanjian yang meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu yang dinamakan perjanjian “timbal balik” (wederkerige overeenkomst)?

Resiko dalam jual beli
              Menurut pasal 1460, dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli, meski pun ia belum diserahkan dan masih berada di tangansi penjual. Dengan demikian, jika barang itu hapus bukan karena salahnya si penjual, si penjual masih tetap berhak untuk menagih harga yang belum dibayar.
              Akan tetapi dalam hal perjanjian pertukaran barang (ruiling), yang juga merupakan suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik (wederkerig) kita melihat suatu peraturan mengenai risiko yang berlainan, bahkan sebaliknya dari apa yang ditetapkan dalam hal perjanjian jual-beli. Pasal 1545 menetapkan, bahwa jika dalam suatu perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, sebelum dilakukan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran dianggap dengan sendirinya hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk meminta kembali barangnya itu. Dengan kata lain, risiko di sini diletakkan di atas pundak si pemilik barang sendiri, dan hapusnya barang sebelum penyerahan membawa pembatalan perjanjian.
              Dengan melihat peraturan tentang risiko yang saling bertentangan ini, kita bertanya manakah yang menjadi asas atau pedoman bagi suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbul-balik (sederkerige overeenkomst) pada umumnya dan manakah yang menjadi kekecualiannya? Jawabnya, ialah apa yang ditetapkan untuk perjanjian pertukaran itulah yang harus dipandang sebagai asas yang berlaku pada umumnya terhadap perjanjian-perjanjian yang meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, sedangkan apa yang ditetapkan dalam pasal 1460 dalam hal perjanjian jual beli harus dipandang sebagai kekesuaian. Dan memang juga dapat dikatakan sudah selayaknya dan seadilnya, jika dalam suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal-balik salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dengan sendirinya pihak yang lain juga dibebaskan dari kewajibannya, karena memang seorang hanyalah menyanggupi untuk memberikan suatu barang atau untuk melakukan sesuatu perbuatan karena ia mengharapkan akan menerima juga suatu barang atau pihak lain akan melakukan suatu perbuatan pula.
              Menilik riwayatnya, jelaslah sudah, bahwa pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang-undang dikutip dari Code Civil. Tetapi dalam sistem Code Civil apa yang dicantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal perjanjian jual beli, hak milik atas barang berpindah seketika pada saat ditutupnya perjanjian. Jadi tidak seperti di dalam sistem B.W. di mana masih harus dilakukan penyerahan untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada si pembeli.
              Berhubung dengan sifatnya, pasal 1460 sebagai kekecualian itu, menurut pendapat yang lazim dianut, pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit, sehingga ia hanya berlaku dalam hal suatu barang yang sudah dibeli, tetapi belum diserahkan hapus. Tidak berlaku, misalnya jika karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, si penjual tidak lagi dapat mengirimkan barangnya kepada si pembeli. Dalam hal ini pernah diputuskan oleh hakim, si pembeli dibebaskan dari pembayaran harga barangnya.

Kelalaian (“wanprestasi”)
              Sebagaimana telah diterangkan, seorang debitur yang lalai, yang melakukan “wanprestasi,” dapat digugat di depan hakim dan hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan pada tergugat itu. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan. Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Pokoknya hutang itu harus “ditagih” dahulu. Biasanya peringatan (“sommatie”) itu dilakukan oleh seorang jurusita dari Pengadilan, yang membuat proses-verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berhutang. Menurut undang-undang memang peringatan tersebut harus dilakukan tertulis (pasal 1238 : bevel of soortgelijke akte), sehingga hakim tidak akan menganggap sah suatu peringatan lisan. Peringatan tidak perlu, jika si berhutang pada suatu ketika sudah dengan sendirinya dapat dianggap lalai. Misalnya dalam hal perjanjian untuk membikin pakaian mempelai, tetapi pada hari perkawinan pakaian itu ternyata belum selesai. Dalam hal ini meskipun prestasi itu dilakukan oleh si berhutang, tetapi karena tidak menurut perjanjian, maka prestasi yang dilakukan itu dengan sendirinya dapat dianggap suatu kelalaian. Ada kalanya, dalam kontrak itu sendiri sudah ditetapkan, kapan atau dalam hal-hal mana si berhutang dapat dianggap lalai. Di sini tidak diperlukan suatu sommatie atau peringatan.
       Apakah yang dapat dituntut dari seorang debitur yang lalai ?
              Si berpiutang dapat memilih antara berbagai kemungkinan.
              Pertama, ia dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat.
              Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
              Ketiga,  ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.
              Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian suatu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.
              Hak ini diberikan oleh pasal 1266 B.W. yang menentukan bahwa tiap perjanjian bilateral selalu dianggap telah dibuat dengan syarat, bahwa kelalaian salah satu pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian. Pembatalan tersebut harus dimintakan pada hakim.
              Dalam hubungan ini, telah dipersoalkan, apakah perjanjian itu sudah batal karena kelalaian pihak debitur ataukah harus dibatalkan oleh hakim.
              Menurut pendapat yang paling banyak dianut, bukanlah kelalaian debitur yang menyebabkan batal, tetapi putusan hakim yang membatalkan perjanjian, sehingga putusan itu bersifat “constitutief” dan tidak “declaratoir.” Malahan hakim itu mempunyai suatu kekuasaan “discretionair,” artinya ia berwenang untuk menilai wanprestasi debitur. Apabila kelalaian itu dianggapnya terlalu kecil, hakim berwenang untuk menolak pembatalan perjanjian, meskipun ganti rugi yang diminta harus diluluskan.
              Tentu saja kedua pihak yang berkontrak dapat juga mengadakan ketentuan bahwa pembatalan ini tidak usah diucapkan oleh hakim, sehingga perjanjian dengan sendirinya akan hapus manakala suatu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Penggantian kerugian
              Penggantian kerugian, dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl).
              Yang dimaksudkan kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya yang berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (winstderving). Misalnya, dalam hal seorang direktur sandiwara yang telah mengadakan suatu kontrak dengan pemain yang tersohor yang tiba-tiba dengan tiada alasan menyatakan tidak jadi main, sehingga pertunjukan terpaksa tidak dapat berlangsung. Kerugian yang nyata-nyata diderita oleh direktur sandiwara itu, ialah ongkos-ongkos persiapan yang telah dikeluarkan, sedangkan kehilangan keuntungan berupa pendapatan harga karcis yang akan didapatnya dari pertunjukan tersebut. Dalam hal seorang penjual barang yang lalai menyerahkan barangnya, si pembeli dapat meminta penggantian ehilangan keuntungan, jika sudah ada orang lain yang suka membeli lagi barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang harus dibayar oleh si pembeli itu.            
              Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan peng­gantian. Undang‑undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan, hanya kerugian yang dapat dikira‑kirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat (te voorzien) dan yang sungguh‑sungguh dapat dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat dimintakan penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa uang tunai, maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang menurut penetapan undang‑undang, yaitu yang dinamakan “moratoire interessen" (menurut huruf: "bunga kelalaian") yang berjumlah 6 prosen setahun, sedangkan bunga ini dihitung mulai tanggal pemasukan surat gugat.
              Selanjutnya, karena terjadinya perkara di depan hakim itu disebabkan oleh kelalaiannya si berhutang, maka ia juga akan di­hukum untuk membayar biaya perkara.
              Ada orang yang mengatakan, sebagai lawan kelalaian seorang berhutang, ialah kelalaian seorang berpiutang atau "moracreditcris" berarti (“mora” berarti kelalaian). Misalnya A telah menjual suatu partai barang "franco gudang" kepada B, sehingga B harus mengambil sendiri barang itu dari gudang. Jika B tidak mengambil barang tersebut, hingga melampaui waktu yang ditentukan, maka A menderita kerugian karena ia terpaksa terus membayar sewa gu­dang. Dikatakannya, bahwa B melakukan moracreditoris atau lalai sebagai seorang berpiutang. Sebenarnya perkataan ini tidak tepat, karena hanya seorang berhutang saja (seorang yang memikul kewajiban) dapat melalaikan kewajiban. Betul B, pihak berhak terhadap penyerahan barang, tetapi mengenai penerimaan (peng­ambilan dari gudang) ia tidak lain dari seorang yang berkewajib­an untuk mengambilnya sendiri (berhutang), karenanya sebagai orang yang memikul kewajiban, ia diancam dengan sanksi‑sanksi apabila ia melalaikan kewajibannya, seperti seorang berhutang pada umumnya. Dengan demikian, jika ada alasan, ia dapat juga dihukum menggantikan kerugian pada si penjual barang.
              Sebagaimana telah diterangkan, seseorang debitur yang di­gugat di depan hakim karena ia dikatakan telah melalaikan ke­wajibannya, dapat membela dirinya – untuk menghindarkan diri­nya dari penghukuman yang merugikan – dengan mengajukan keadaan‑keadaan di luar kekuasaannya yang memaksanya hingga ia tidak dapat menepati perjanjian (overmacht). Pembelaan itu bermaksud agar ia tidak dipersalahkan tentang tidak ditepatinya perjanjian itu.
              Untuk dapat dikatakan suatu "keadaan memaksa," (overmacht atau force mqjeur), selain keadaan itu, "di luar kekuasaan­ya" si berhutang dan "memaksa," keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak‑tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si berhutang. Jika si berhutang berhasil dalam mem­buktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan ditolak oleh hakim dan si berhutang terluput dari penghukuman, baik yang berupa, penghukuman untuk meme­uhi perjanjian, maupun penghukuman untuk membayar penggan­tian kerugian.
              Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absoluut), yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga dilaksanakan, tetapi dengan pengorbanan‑pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang. Misalnya harga barang yang masih harus didatangkan oleh si penjual, sekonyong‑konyong membu­bung sangat tinggi atau dengan tiba‑tiba oleh Pemerintah dike­luarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukum­an untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah, yang menyebabkan si berhutang tidak dapat mengirimkan barang­nya kepada si berpiutang.
              Jika barang yang dimaksudkan dalam perjanjian sudah mus­nah di luar kesalahan si berhutang, teranglah pelaksanaan perjanji­an sudah tak dapat dituntut. yang sulit bagi hakim untuk me­mutuskan ialah jika barang itu masih ada atau dapat didatang­kan, sehingga, perjanjian sebetulnya masih dapat dilaksanakan. Dalam hal yang demikian ini hakim harus mempertimbangkan apakah sungguh‑sungguh terdapat suatu keadaan yang sedemikian, hingga dapat dikatakan tidak sepatutnya lagi untuk dalam keada­an itu memaksa si berhutang memenuhi perjanjiannya. Jadi yang diambil sebagai ukuran oleh hakim tidak lagi, sungguh‑sungguh­kah tidak mungkin melaksanakan perjanjian, tetapi cukup dalam suatu keadaan sudah tidak sepatutnya lagi untuk memaksa si debitur menepati perjanjiannya. Misalnya dalam hal dikeluarkan­nya larangan oleh Pemerintah yang disebutkan di atas tadi, di ma­na sudah terang tidak sepatutnya untuk mengharapkan si berhu­tang masih juga mengirimkan barangnya dengan memikul risiko ia akan dihukum penjara karena melanggar peraturan Peme­rintah.
              Jika sebagai akibat kejadian yang tidak disangka‑sangka itu, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian telah menjadi hapus, teranglah pelaksanaan perjanjian sudah tidak dapat di­tuntut untuk seterusnya, hingga praktis perjanjian itu sudah hapus. Akan tetapi jika barang itu masih ada dan masih utuh pula, menu­rut pendapat yang lazim dianut dalam pelaksanaan perjanjian: penyerahan, masih dapat dituntut oleh si berpiutang, manakala keadaan memaksa sudah berakhir. Hanya jelas, ia tidak boleh menuntut pembayaran kerugian, karena tidak ada kesalahan pada pihak si berhutang.



B.  PERIHAL HAPUSNYA PERIKATAN‑PERIKATAN


              Undang‑undang menyebutkan sepuluh macam cara hapusnya perikatan :
       1.    Karena pembayaran,
       2.    Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat,
       3.    Pembaharuan hutang,
       4.    Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik,
       5.    Percampuran hutang,
       6.    Pembebasan hutang,
       7.    Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian,
       8.    Pembatalan perjanjian,
       9.    Akibat berlakunya suatu syarat pembalatan,
       10.  Lewat waktu.

              Perincian dalam pasal 1381 B.W. itu tidak lengkap, karena telah dilupakan hapusnya suatu perikatan karena lewatnya suatu ketetapan waktu yang dicantumkan dalam suatu perjanjian. Se­lanjutnya dapat diperingatkan pada beberapa cara yang khusus ditetapkan terhadap perikatan, misalnya ketentuan bahwa suatu perjanjian "maatschap" atau perjanjian "lastgeving" hapus dengan meninggalnya seorang anggota maatschap itu atau meninggalnya orang yang memberikan perintah dan karena curatele atau per­nyataan pailit mengakibatkan juga hapusnya perjanjian maatschap itu.

       1)    Pembayaran
              Yang dimaksudkan oleh undang‑undang dengan perkataan “pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan pembayaran itu oleh undang‑undang tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian, dinamakan pembayaran. Bahkan si pe­kerja yang melakukan pekerjaannya untuk majikannya dikatakan "membayar."
              Pada dasarnya hanya orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara sah, seperti seorang yang turut berhutang atau seorang penanggung (borg), demikianlah pasal 1382 B.W. Tetapi pasal ini selanjutnya menerangkan, juga seorang pihak ketiga yang tidak berkepentingan dapat mem­bayar secara sah, asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama si berhutang, atau bilamana ia bertindak atas namanya sendiri, asal saja ia tidak menggantikan hak‑haknya si berpiutang. Jikalau dipikir benar‑benar sebetulnya kalimat "asal saja ia tidak menggantikan hak‑hak si berpiutang", tidak perlu disebutkan. Sebab jika orang yang membayar hutang itu menggantikan hak‑hak si berpiutang, tidak dapat dikatakan perikatan hutang‑piutang itu sudah hapus, karena ia sebenarnya masih hidup, hanyalah penagihnya saja yang berganti. Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan, bahwa pasal 1382 itu membolehkan siapa saja mem­bayar dan si berpiutang diharuskan menerimanya, meskipun belum tentu pembayaran itu juga akan membebaskan si berhutang. Hanya untuk perjanjian‑perjanjian di mana salah satu pihak diharuskan melakukan sesuatu perbuatan, tentu saja asas tersebut itu tidak akan berlaku. Misalnya saja, dalam suatu perjanjian bekerja, tidak dapat seorang pekerja dengan begitu saja digantikan oleh temannya yang mungkin tidak sepadan kecakapannya.
              Barang yang dibayarkan, harus milik orang yang melakuka pembayaran dan orang itu juga harus berhak untuk memindahkan barang‑barang itu ke tangan orang lain. Pembayaran itu harus dilakukan kepada si berpiutang atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau oleh undang‑undang. Misalnya seorang juru kuasa atau seorang wali. Pembayaran yang dilakukan kepada orang‑orang lain tentu saja pada umumnya tidak sah. Artinya tidak membebaskan si berhutang. Akan tetapi jika si berpiutang memang sudah menyetujuinya atau ternyata akhirnya juga menerima barang yang telah dibayarkan itu, pembayaran itu dianggap menerima barang yang telah dibayarkan itu, pembayaran itu dianggap sah juga. Lagi pula ditetapkan oleh pasal 1386, bahwa pembayaran yang dilakukan secara jujur kepada seseorang yang memegang surat tanda penagihan, adalah sah.
              Yang dimaksudkan, bahwa orang yang memegang surat tanda penagihan itu bertindak ke luar seolah‑olah ia berhak atas surat itu, sehingga cukup alasan untuk mempercayai orang itu.
              Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditentukan di dalam perjanjian. Jika tempat ini tidak ditentukan dan barang yang harus dibayarkan itu suatu barang yang sudah tertentu, pem­bayaran harus dilakukan di tempat barang itu berada sewaktu perjanjian ditutup. Dalam hal‑hal lain, misalnya dalam hal tiada ketentuan tempat dan pembayaran yang berupa uang, pembayaran itu harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang. Jadi, tiap pembayaran yang berupa uang, jika tiada ketentuan lain, harus diantarkan ke rumah si berpiutang. Akan tetapi sebagaimana kita lihat dalam praktek, peraturan ini sudah terdesak oleh kebiasaan yaitu pembayarannya itu diambil di rumah si berhutang. Undang­-undang hanya mengadakan satu kekecualian, yaitu dalam hal pem­bayaran suatu hutang‑wesel, di mana oleh pasal 137 W.v.K. dite­tapkan bahwa pembayaran surat wesel harus dimintakan di rumah orang yang berkewajiban membayarnya.
              Oleh pasal 1382 B.W. apa yang disebutkan di atas, sudah disinggung adanya kemungkinan menggantikan hak‑hak seorang berpiutang. Menggantikan hak‑hak seorang berpiutang ini, dinamakan "subrogatie," yang diatur dalam pasal‑pasal 1400 s/d 1403 B.W. Subrogatie, harus diperbedakan dengan cessie (pemin­dahan suatu piutang), yang biasanya merupakan suatu akibat pen­jualan piutang itu. Dalam hal subrogatie, hutang telah terbayar lu­nas oleh seorang pihak ketiga. Hanya perikatan hutang‑hutang masih hidup terus karena pihak ketiga itu lalu menggantikan hak-­hak si berpiutang terhadap diri si berhutang. Cessie, suatu per­buatan pemindahan suatu piutang kepada seorang yang telah mem­beli piutang itu. Subrogatie dapat terjadi karena ditetapkan oleh undang‑undang. Dengan demikian, subrogatie dapat terjadi dengan tiada memakai bantuan si berpiutang, sedangkan cessie selalu di­butuhkan bantuan ini. Lagi pula terdapat perbedaan dari sudut formil, di mana untuk subrogatie tidak diharuskan sesuatu cara, sedangkan untuk cessie diharuskan suatu akte, yang harus diberitahukan pula secara resmi kepada si berhutang.
              Subrogatie dapat terjadi dengan suatu perjanjian antara seorang pihak ketiga yang membayar hutang dan si berhutang yang menerima pembayaran itu, atau karena penetapan undang-undang.
              Subrogatie yang terjadi dengan perjanjian, diatur dalam pasal 1401. Menurut pasal itu ada dua kemungkinan :
       1.    Seorang pihak ketiga datang pada si berpiutang dan menyatakan ia hendak membayar hutang si berhutang. Pembayar­an itu diterima baik oleh si berpiutang. Orang pihak ketiga itu akan menggantikan hak‑hak si berpiutang (termasuk tanggungan­-tanggungan, misalnya hypotheek atau hak‑hak privilege), jika penggantian itu semata‑mata diperjanjikan pada waktu si berpiutang menerima pembayaran hutang itu. Karena di sini tidak
diharuskan sesuatu cara oleh undang‑undang, maka cukuplah jika misalnya perjanjian itu dituliskan saja di atas kwintansi yang diberikan oleh si berpiutang sebagai tanda pembayaran.
       2.    Si berhutang meminjam uang dari seorang pihak ketiga untuk dipakai membayar hutangnya. Di sini ditetapkan, jikalau orang pihak ketiga itu hendak menggantikan hak‑hak si berpiutang, maka, baik pinjaman uang yang akan dipakai melunasi hu­tang itu maupun pelunasan hutang ini, kedua‑duanya harus dile­takkan dalam suatu akte notaris. Dalam akte yang memuat per­janjian pinjaman uang itu harus disebutkan bahwa uang itu akan digunakan untuk melunasi hutang. Dalam akte yang memuat pe­lunasan hutang, harus disebutkan bahwa pelunasan ini terjadi dengan uang pinjaman dari orang pihak ketiga yang akan meng­gantikan hak‑hak si berhutang.
              Subrogatie yang terjadi karena penetapan undang‑undang, diatur dalam pasal 1402. Antaranya disebutkan. bahwa seorang pembeli suatu benda yang tak bergerak (persil) yang memperguna­kan uang harga yang harus dibayarnya untuk melunasi hutang­-hutang yang ditanggung dengan hypotheek atas benda itu, meng­gantikan, hak‑hak dari orang‑orang yang menghutangkan yang telah menerima pembayaran pelunasan itu. Si pembeli persil itu menjadi pemegang hypotheek atas bendanya sendiri.

       2) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
       Ini, suatu cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si berpiutang atau ia diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat. Jikalau ia tetap menolaknya, maka barang itu disimpan di suatu tempat atas tanggungan si berpiutang. Penawaran dan peringatan tersebut harus dilakukan secara resmi, misalnya oleh seorang jurusita yang membuat proses verbal dari perbuatannya itu, se­dangkan penyimpanan dapat dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, dengan diberitahukan kepada si berpiutang. Jika cara­-cara yang ditetapkan dalam undang‑undang dipenuhi, dengan di­simpannya barang tersebut, si berhutang telah dibebaskan dari hutangnya. Artinya, ia dianggap telah membayar secara sah. Cara ini banyak dilakukan dalam zaman pendudukan Jepang, ketika uang Jepang sudah sangat merosot harganya.

              Hanya dalam satu hal, undang‑undang tidak memberikan pertolongan, yaitu dalam hal yang harus diserahkan itu suatu benda yang tak bergerak. Jika si pembeli tidak suka menerima benda ini, undang‑undang tidak memberikan suatu cara untuk melaksanakan pembalikan nama yang dapat dianggap sebagai pemindahan hak milik pada si pembeli itu. Si penjual, paling banyak dapat me­minta pada hakim untuk menetapkan uang paksaan guna men­dorong si pembeli, agar ia suka membantu pembalikan nama tanah yang dibelinya.

       3)    Pembaharuan hutang
       Ini,  suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru. Menurut pasal 1415, kehendak untuk mengadakan suatu pembaharuan hutang itu, harus ternyata secara jelas dari perbuatan para pihak (dalam pasal ini perkataan akte berarti perbuatan). Suatu pembaharuan hutang misalnya, akan terjadi jika seorang penjual barang membebaskan si pembeli dari pembayaran harga barang, tetapi si pembeli itu disuruh menandatangani suatu per­janjian pinjaman uang yang jumlahnya sama dengan harga barang itu. Pembaharuan hutang dapat juga terjadi, jika si berhutang dengan persetujuan si berpiutang diganti oleh seorang lain yang menyanggupi akan membayar hutang itu. Di sini juga ada suatu perjanjian baru yang membebaskan si berhutang yang lama dengan timbulnya suatu perikatan baru antara si berpiutang dengan orang baru itu.
              Jika si berhutang untuk hutangnya mengakseptir suatu surat wesel, maka tidak dapat dikatakan telah terjadi suatu pembaharu­an. Ini hanya dianggap terjadi manakala perikatan lama tidak mungkin tetap berlangsung di samping perikatan baru. Keadaan di mana perikatan lama tidak dapat hidup langsung bersama dengan perikatan baru, terang tidak ditimbulkan oleh suatu aksep­tasi.
              Dengan adanya suatu pembaharuan hutang, dianggap hutang yang lama. telah hapus dengan segala buntutnya. Tetapi si berpiutang berhak untuk memperjanjikan hak‑hak istimewa (privilege) dan hypotheek‑hypotheek yang menjadi tanggungan dari hutang lama itu tetap dipegangnya. Jika ada orang yang menang­gung hutang lama itu, maka dengan adanya pembaharuan hutang, orang‑orang penanggung itu semuanya dibebaskan.
       4)    Kompensasi atau perhitungan hutang timbal-balik
       Jika seseorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang, sehingga dua orang itu sama‑sama berhak un­tuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang­-piutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Menurut pasal 1426 perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya, tidak perlu para pihak menuntut diadakannya perhitungan itu. Untuk perhitungan itu juga tidak diperlukan bantuan dari siapapun. Untuk dapat diperhitungkan satu sama ‑lain, kedua piutang itu harus mengenai uang atau mengenai sejumlah barang yang semacam, misalnya beras atau hasil bumi lainnya dari satu kwalitet. Lagi pula kedua piutang itu harus dapat dengan seketika ditetapkan jumlahnya dan seketika dapat ditagih.
              Pada            umumnya undang‑undang tidak menghiraukan sebab-­sebab yang menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam pasal 1429, disebutkan tiga kekecualian piutang‑piutang yang tidak boleh diperhitungkan satu sama lain :
       1.    Jika satu pihak menuntut dikembalikannya barang mi­liknya dengan secara melawan hak telah diambil oleh pihak lawannya.
       2.    Jika satu pihak menuntut dikembalikannya suatu barang yang dititipkan atau dipinjamkan pada pihak lawan itu.
       3.    Jikalau satu pihak menuntut diberikannya suatu tun­jangan nafkah yang telah menjadi haknya.
              Jika seorang penanggung hutang (borg) ditagih, sedangkan orang yang ditanggung (si berhutang) mempunyai suatu piutang pada si penagih, si penanggung hutang itu berhak untuk meminta diadakan perhitungan antara kedua piutang itu. Sebaliknya, jika si berhutang ditagih untuk membayar hutangnya, sedangkan orang yang menanggung hutangnya itu mempunyai piutang terhadap si penagih itu, maka tak dapat dilakukan kompensasi. Ini sesuai dengan asas yang dianut oleh undang‑undang, bahwa perikatan penanggungan hutang itu hanya suatu buntut belaka dari perikat­an pokok, yaitu perjanjian pinjaman uang antara si berhutang dan si berpiutang.

       5)    Percampuran hutang
       Ini terjadi misalnya jika si berhutang kawin dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang Meng­gantikan hak‑hak si berpiutang karena menjadi warisnya ataupun sebaliknya.

       6) Pembebasan hutang
       Ini, suatu perjanjian baru di mana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya. Perikatan hutang piutang itu telah hapus karena pembebasan, kalau pembebasan itu diterima baik oleh si berhutang, sebab ada juga kemungkinan seseorang yang berhutang tidak suka dibebaskan dari hutangnya.                   I
              Apakah bedanya pembebasan hutang ini dengan pemberian (schenking)? Suatu pembebasan, tidak menimbulkan suatu per­ikatan. Dengan suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan hak‑hak milik. Sebaliknya suatu pemberian, meletakkan suatu per­ikatan antara pihak yang memberikan dan pihak yang diberikan dengan tujuan memindahkan hak milik itu atas sesuatu barang dari pihak yang satu kepada yang lainnya.
              Pasal. 1439 menerangkan, bahwa jika si berpiutang dengan sukarela memberikan surat perjanjian hutang pada si berhutang, itu dapat dianggap sebagai suatu pembuktian tentang adanya suatu pembebasan hutang. Pasal 1441 menerangkan, bahwa jika suatu barang tanggungan dikembalikan, itu belum dapat dianggap me­nimbulkan persangkaan tentang adanya pembebasan hutang. Ini sebetulnya tidak perlu diterangkan, sebab sebagaimana telah diketahui perjanjian gadai (pand) adalah suatu buntut belaka dari perjanjian pokok.


       7.    Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
       Menurut pasal 1444, jika suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama sekali di luar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya
              Bahkan meskipun ia lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar ke­kuasaannya. Barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama seandainya barang itu sudah berada di tangannya si berpiutang.
              Jika si berhutang dengan terjadinya peristiwa‑peristiwa yang diuraikan dalam pasal tersebut di atas, telah dibebaskan dari perikatan dengan si berpiutang, lalu ia diwajibkan menyerahkan pada si berpiutang itu segala hak yang mungkin ia dapat lakukan terhadap orang‑orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hapus atau. hilang itu. yang dimaksudkan, misalnya saja, si berhutang itu berhak menuntut pembayaran uang assuransi ter­hadap suatu maskapai assuransi. Ini memang sudah seadilnya, se­bab sebagaimana telah diterangkan dalam hal perjanjian‑perjanji­an yang hanya meletakkan kewajiban kepada satu pihak saja atau dalam hal perjanjian‑perjanjian jual beli mengenai suatu. ba­rang yang sudah ditentukan risiko tentang hapusnya barang ini, dalam sistem B.W. diletakkan di atas pundak si berpiutang. Jadi dalam hal ini, misalnya seseorang yang diberi suatu barang (schen­king) atau si pembeli barang.

       8)    Pembatalan perjanjian
       Sebagaimana telah diterangkan, perjanjian‑perjanjian yang dibuat oleh orang‑orang yang menurut undang‑undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kekhilafan atau penipuan, atau pun mempunyai sebab yang ber­tentangan dengan undang‑undang, kesusilaan atau ketertiban umum, dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya beraki­bat, bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat.
       Kalau yang dimaksudkan oleh undang‑undang itu untuk melindungi suatu pihak yang membuat perjanjian sebagaimana halnya dengan orang‑orang yang masih di bawah umur atau dalam hal telah terjadi suatu paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka pembatalan itu hanya dapat dituntut oleh orang yang hendak di­lindungi oleh undang‑undang itu. Akan tetapi dalam hal yang di­maksudkan oleh undang‑undang itu untuk menjaga ketertiban umum, sebagaimana halnya dengan perjanjian‑perjanjian yang mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang‑undang kesusilaan atau ketertiban umum, maka pembatalan itu dapat di­mintakan oleh siapa saja asal ia mempunyai kepentingan.
       Penuntutan pembatalan yang dapat diajukan oleh salah satu pihak. yang membuat perjanjian yang dirugikan, karena perjanjian itu harus dilakukan dalam waktu lima tahun, waktu mana dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum dewasa dihitung mulai hari orang itu telah menjadi dewasa dan dalam hal suatu perjanjian yang dibuat karena kekhilafan atau penipuan dihitung mulai hari di mana kekhilafan atau penipuan ini diketa­huinya.
       Penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh hakim, jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang dirugikan. Karena orang yang telah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan padanya, dapat dianggap telah melepaskan haknya. untuk meminta pembatalan.
       Akhirnya, selain dari apa yang diatur dalam B.W. yang di­terangkan di atas ini, ada pula kekuasaan yang oleh Ordonansi Woeker (Stbl. 1938 ‑ 524) diberikan pada hakim untuk membatalkan perjanjian, jikalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban timbal balik yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau. dalam keadaan terpaksa.


C.  BEBERAPA PERJANJIAN KHUSUS YANG PENTING

a.    Perjanjian jual beli
       Ini, adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.

       Untuk terjadinya perjanjian ini, cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Si penjual mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu pertama me­nyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tenteram, dan kedua bertanggung jawab terhadap cocad‑cacad yang tersembunyi. Kewajiban si pembeli, mem­bayar harga pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan. Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual beli ditutup dan di tempat, barang itu berada. Menurut undang‑undang, sejak
saat ditutupnya perjanjian, "risiko" mengenai barangnya, sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak hingga tak dapat diserahkan, pada si pembeli, maka orang ini masih tetap ha­rus membayar harganya. Sampai pada. waktu penyerahan itu, si penjual harus merawat barangnya baik‑baik. Jika si penjual mela­laikan kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditetapkan belum menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap barang itu, dan dapat dituntut untuk memberi­kan kerugian. Barang‑barang yang dijual atas dasar beratnya, jum­lahnya, atau ukurannya, mulai menjadi tanggungan si pembeli setelah barang‑barang itu ditimbang, dihitung atau diukur. Karena
baru mulai saat penimbangan, perhitungan atau pengukuran itu dianggap barang‑barang itu disediakan untuk si pembeli.
       Peraturan‑peraturan tentang penyerahan (levering) dan risiko yang diterangkan di atas ini, berlaku jika pihak‑pihak yang mem­buat perjanjian tidak membuat sendiri peraturan‑peraturan ten­tang itu. Justru dalam hal jual beli ini dalam praktek banyak sekali dibuat peraturan‑peraturan sendiri dalam kontrak‑kontrak yang bertujuan menyimpang dari ketentuan‑ketentuan undang‑undang.
       Apabila si penjual tidak menyerahkan barangnya pada waktu yang telah ditetapkan, si pembeli dapat menuntut penyerahan itu, jika beralasan dengan tambahan pembayaran kerugian, atau ia dapat langsung menuntut pembayaran kerugian sebagai pengganti penyerahan barang, ataupun ia dapat menuntut pembatalan per­janjian, yang dapat disertai pula dengan pembayaran kerugian. Lain dari itu, ada kemungkinan tuntutan pembatalan atas dasar kekhilafan atau penipuan.
       Apabila barang sudah diserahkan, si pembeli dapat menuntut si penjual untuk bertanggungjawab, jikalau ada seorang yang membantah hak milik si penjual atas barang yang telah dibeli­nya itu, atau jika ternyata ada cacad yang tersembunyi. Apabila si pembeli sampai terlibat dalam suatu perkara mengenai barang yang telah dibelinya itu, ia dapat meminta pada hakim supaya si penjual barang turut dipanggil di depan sidang pengadilan untuk turut membela hak si pembeli. Tuntutan berdasarkan cacad‑cacad yang tersembunyi harus dilakukan dalam jangka waktu yang pendek, sebab jikalau sudah agak lama hakim dapat menganggap si pembeli telah menerima baik barang yang bercacad itu.
       Sebaliknya, jika si pembeli tidak membayar harga barang pada waktu yang ditentukan, si penjual dapat menuntut pem­bayaran itu, yang jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian juga. Barang yang belum dibayar itu dapat dimintanya kembali (recht van reclame) dan sebagai­mana, telah diterangkan oleh undang‑undang ia, diberikan kedudukan sebagai penagih yang didahulukan terhadap hasil, penjualan barang itu, yaitu jikalau telah dilakukan penyitaan atas kekayaan si pembeli.
       Untuk menjamin hak‑hak si penjual karena pandrecht tidak mungkin dilakukan (sebab barang harus segera dipakai oleh si pembeli), dalam praktek telah tercipta perjanjian yang dinamakan 'huurkoop." Di sini dijanjikan bahwa harga barang dapat dicicil, barangnya seketika diserahkan pada si pembeli, tetapi hak milik (eigendom) atas barang itu baru akan berpindah pada si pembeli apabila angsuran yang penghabisan telah dibayar lunas. Si pembeli tidak boleh menjual maupun menggadaikan barangnya, sebab itu belum menjadi miliknya, dan jika ia berbuat demikian ia dapat dituntut perihal "penggelapan."
       Dalam perjanjian yang dinamakan “koop op afbetaling” hak milik (eigendom) sudah berpindah pada saat penyerahan barang kepada si pembeli, tetapi harganya boleh dicicil.

       b.    Perjanjian sewa‑menyewa
       Ini adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu‑waktu yang ditentuhan. Pihak penyewa memikul dua kewajiban pokok, yaitu :
       1.    Membayar uang sewa pada waktunya;
       2.    Menjelihara barang yang disewa itu sebaik‑baiknya, se olah‑olah barang miliknya sendiri.
       Perjanjian sewa‑menyewa, bertujuan untuk memberikan hak pemakaian saja, bukan hak milik atas suatu benda. Karena itu pihak yang menyewakan tidak usah seorang pemilik atas benda yang disewakan itu, cukuplah misalnya ia seorang yang mempunyai hak erfpacht atau vruchtgebruik atas benda tersebut. Perjanjian sewa‑menyewa juga tidak memberikan suatu hak kebendaan, ia hanya memberikan suatu hak perseorangan terhadap orang yang menyewakan barang. Karena hak sewa bukan suatu hak kebendaan, maka jika si penyewa diganggu oleh seorang pihak ketiga dalam melakukan haknya itu, ia tidak dapat secara langsung menuntut orang yang mengganggu itu, tetapi ia harus mengajukan tuntutannya pada orang yang menyewakan.
              Jika tidak diperjanjikan lain, si penyewa tidak boleh menyewakan lagi benda yang disewanya itu. Ini memang sudah semesti­nya, karena hak si penyewa hanya suatu hak perseorangan saja.
              Dalam hal sewa‑menyewa rumah, oleh undang‑undang ditetapkan bahwa perbaikan‑perbaikan kecil harus dipikul oleh si penyewa, sedangkan perbaikan-perbaikan besar harus dipikul oleh pemilik rumah. Si penyewa diwajibkan mengisi rumah itu dengan perabot rumah sepantasnya. Si pemilik rumah mempu­nyai hak "privilege" atas barang‑barang perabot rumah itu se­bagai tanggungan untuk sewa yang belum dibayar. la dapat me­nyita barang‑barang itu dan berhak memintanya kembali jika barang‑barang itu dipindahkan ke tempat lain (pand‑beslag; pand di sini berarti persil).
              Menurut pengertian pasal 1576 B.W. jika rumah dijual, maka perjanjian jual beli ini tidak akan mempengaruhi perjanjian sewa‑menyewa yang berlaku atas rumah tersebut ("koop breekt geen huur"). Ini berarti, perjanjian sewa‑menyewa harus dioper oleh pemilik baru atas dasar‑dasar yang sama.
              Lazimnya "jual" di sini ditafsirkan secara luas ("analogis"), hingga meliputi tukar-menukar, penghibahan dan lain‑lain pe­mindahan hak milik.

       c. Pemberian atau hibah (schenking)
       Menurut pengertian pasal 1666 B.W. yang dinamakan "pemberian" ('schenking") ialah suatu perjanjian (obligatoir), di mana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma‑cuma (om niet) de­ngan secara mutlak (onherroepelijk) memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya, pihak mana menerima pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, pemberian (schenking) itu seketika mengikat dan tak dapat ia dicabut kembali begitu saja menurut kehendak satu pihak. Jadi berlainan sekali sifatnya dari suatu hibah wasiat atau pemberian dalam suatu testament, yang baru memperoleh kekuatan mutlak, apabila orang yang memberikan benda sudah meninggal, dan sebelumnya ia selalu dapat ditarik kembali.
              Agar dapat dikatakan tentang suatu "pemberian," perbuatan itu harus bertujuan memberikan suatu hadiah belaka (liberaliteit), jadi tidak boleh ada suatu keharusan atau perikatan meskipun hanya berupa natuurlijke verbintenis saja.
              Perkataan "pemberian" dalam pasal 1666 dsl. dipakai dalam arti kata yang sempit, karena hanya perbuatan‑perbuatan yang memenuhi syarat‑syarat yang disebutkan di situ dinamakan "pem­berian" misalnya syarat "dengan cuma‑cuma" yaitu tanpa pem­bayaran. Di sini dapat dikatakan tentang suatu "formele schen­king." Tetapi bagaimana halnya dengan seseorang yang menjual rumahnya dengan harga yang sangat rendah atau yang membebas­kan debiturnya dari hutangnya? Menurut pasal 1666 ia tidak melakukan suatu "pemberian," tetapi menurut pengertian yang luas ia dapat dikatakan memberi juga. Di sini dikatakan tentang suatu "materiele schenking" (memberikan menurut hakekat) dan pemberian dalam artikata yang luas ini dipakai dalam pasal 920 (pemberian yang melanggar legitieme portie), pasal 1086 (inbreng: pemberian yang harus diperhitungkan dalam pembagian warisan) dan pasal 1678 (larangan memberikan benda‑benda, atas nama antara suami dan isteri).
              Perkataan "dengan cuma‑cuma" tidak berarti tidak boleh ada suatu kontraprestasi. Menurut undang‑undang, suatu pem­berian boleh disertai dengan suatu "beban" ("last"), yaitu suatu kewajiban dari yang menerima pemberian untuk berbuat sesuatu (misalnya memberikan suatu pensiun kepada seorang janda). Jika prestasi yang harus dilakukan oleh si penerima melampaui harga barang yang diterimanya, maka tidak dapat dikatakan ten­tang suatu "pemberian" lagi.

              Pemberian benda‑benda tak bergerak dan hak‑hak piutang atas nama, harus dilakukan dengan akte notaris. Tetapi barang barang yang bergerak dan piutang‑piutang yang berupa, surat bawa (aan toonder) cukup diserahkan begitu saja.

       d.    Persekutuan (maatschap)
       Ini adalah suatu perjanjian di mana beberapa orang bermu­fakat untuk bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh. Maatschap ini merupakan suatu bentuk kerja sama yang paling sederhana. Suatu modal tertentu tidak ada, bahkan diperbolehkan seorang anggota hanya menyumbangkan tenaganya saja. Cara bagaimana keuntung­an bersama akan dibagi, diatur dalam perjanjian pendirian maatschap itu. Jika tidak diperjanjikan tentang bagaimana membagi keuntungan itu, maka pembagian ini harus didasarkah pada jum­lah pemasukan modal masing‑masing, sedangkan mereka yang hanya menyumbangkan tenaganya saja mempunyai hak yang sama dengan anggota yang memasukkan modal paling sedikit.
              Untuk suatu perjanjian, maatschap, tidak diharuskan suatu akte atau, bentuk lain. Jadi diperbolehkan membuat perjanjian itu secara lisan saja. Suatu perjanjian yang tidak diharuskan dalam suatu bentuk atau cara tertentu dinamakan perjanjian consen­sueel, artinya sudah cukup jika ada kata sepakat.
              Tentang perjanjian maatschap ini, akan diberikan penjelasan yang lebih lanjut dalam bagian tentang Hukum Dagang.

       e.    Penyuruhan (lastgeving)
       Ini adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu (last­gever) memberikan perintah kepada pihak yang lain (lasthebber) untuk melakukan suatu perbuatan hukum perintah mana diterima oleh yang belakangan ini. Memang pada asasnya orang dapat me­nyuruh orang lain melakukan perbuatan‑perbuatan hukum untuk dirinya, kecuali jika perbuatan‑perbuatan itu berhubungan dengan sifatnya, yang sangat pribadi yang harus dilakukan sendiri, misal­nya membuat suatu testament.
              Seorang pihak ketiga dapat bersangkutan dengan penyuruh­an itu, jika orang yang disuruh itu memberitahukan padanya bahwa ia berbuat atas suruhan orang lain. Dalam hal yang demi­kian, terjadilah apa yang dinamakan "perwakilan secara langsung." Jika orang yang disuruh tidak memberitahukan bahwa ia hanya disuruh saja, tetapi bertindak keluar seolah‑olah ia berbuat untuk diri sendiri, maka terjadilah suatu "perwakilan secara tidak lang­sung." Satu dan lain tentunya tergantung dari apa yang diperjanji­kan antara orang yang menyuruh dan yang disuruh.
              Perlu diterangkan, bahwa kekuasaan untuk mewakili orang lain ini tidak hanya ada pada seorang lasthebber saja, tetapi ada juga misalnya pada orang tua terhadap anaknya dan pada seorang wali atau kurator. Jadi kekuasaan untuk mewakili orang lain da­pat lahir selainnya dari suatu perjanjian, juga dari undang‑undang. Dengan kata lain : Perjanjian penyuruhan adalah salah satu sumber dari kekuasaan untuk mewakili seorang dalam hal melakukan per­buatan‑perbuatan hukum. Kekuasaan untuk mewakili orang lain yang berdasarkan suatu perjanjian, biasanya dinamakan "penguasa­an" ("volmacht").
              Apakah perbedaannya antara suatu perjanjian penyuruhan dengan suatu Perjanjian perburuhan?
              Penyuruhan, dapat terjadi dengan tidak memakai upah, sedangkan perjanjian perburuhan selalu dimaksudkan untuk men­dapat upah atau gaji, dan selalu membawa suatu hubungan diper­atas, antara seorang majikan dan seorang buruh. Perjanjian penyu­ruhan oleh undang‑undang dianggap lazim terjadi sebagai suatu jasa dari seseorang terhadap temannya. Karena itu, dianggap pada umumnya terjadi dengan tiada memakai upah, meskipun diperbolehkan memperjanjikan upah. Apabila memang menurut adat kebiasaan atau jabatannya seseorang, kepada seorang diberi­kan upah, maka upah itu juga harus diberikan. Misalnya, orang yang menyuruh seorang notaris atau seorang pengacara untuk melakukan suatu perbuatan hukum, harus mengerti bahwa ia harus membayar honorarium.

       f.     Perjanjian Pinjam
       Oleh undang‑undang diperbedakan antara : 1. Perjanjian pinjam barang yang tak dapat diganti ("bruiklening") dan 2. Perjanjian pinjam barang yang dapat diganti ("verbruiklening").

       1.    Perjaniian pinjam barang yang tak dapat diganti
       Barang yang tak dapat diganti, misalnya, sebuah mobil atau sepeda. Hak milik atas barang yang dipinjamkan tetap berada pada pemiliknya, yaitu pihak yang meminjamkan barangnya. Selama waktu peminjaman si peminjam harus memelihara barang tersebut sebaik‑baiknya, seolah‑olah itu miliknya sendiri ("als een goed huisvader") dan sehabis waktu pinjaman ia harus me­ngembalikannya dalam keadaan semula. Biaya pemeliharaan be­serta biaya perbaikan kecil harus dipikul oleh si peminjam, biaya perbaikan besar harus dipikul oleh si pemilik barang.
              Perjanjian ini menurut undang‑undang selalu terjadi dengan percuma, sebab justru di sinilah letaknya perbedaan antara pin­jam dengan sewa‑menyewa.
              Jika telah ditentukan jangka waktu pinjaman itu berlaku, tetapi pada suatu ketika ada keperluan yang mendadak dan men­desak, maka diperkenankan si pemilik untuk meminta kembali barangnya, meskipun waktu pinjaman itu belum habis.

       2. Perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti
       Barang yang dapat diganti, misalnya uang, beras, dsb. Dalam praktek perjanjian ini hampir selalu ditujukan pada pinjaman uang.
       Di sini barang yang diserahkan untuk dipinjam itu menjadi miliknya si peminjam, sedangkan pihak yang meminjamkan mem­peroleh ‑ suatu hak penuntutan (piutang) terhadap si peminjam untuk mengembalikan sejumlah barang yang sama jumlah dan kwalitetnya.
              Lagi pula di sini boleh diperjanjikan suatu pembayaran dari pihak si peminjam, pembayaran mana dinamakan bunga atau rente. Malahan biasanya suatu perjanjian pinjam uang memakai bunga. Jika tidak diperjanjikan suatu pembayaran bunga, tetapi si peminjam membayar juga suatu bunga, maka menurut undang­-undang pembayaran rente ini tidak boleh diminta kembali, arti­nya pembayaran itu dianggap sah. Inilah suatu contoh dari apa yang dinamakan suatu "natuurlijke verbintenis.  Hanya jika apa yang dibayarkan itu melebihi bunga menurut undang‑undang (6 persen), pembayaran yang melebihi jumlah ini boleh diminta kembali.
              Suatu perjanjian pinjam – baik yang mengenai benda yang dapat diganti maupun mengenai benda yang tak dapat diganti – dinamakan suatu "rieel contract," artinya suatu perjanjian yang baru dianggap lahir pada ketika barangnya diserahkan (seperti perjanjian gadai). Sebelum barang diserahkan, hanya ada suatu perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst).

       g.    Penanggungan hutang (borgtocht)
       Ini adalah suatu perjanjian di mana satu pihak (borg) menyanggupi pada pihak lainnya (seorang berpiutang), bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya. Biasanya perjanjian penanggungan hutang ini mengenai hutang pinjaman uang, sebab jika kewajiban si ber­hutang itu berupa melakukan suatu pekerjaan atau memberikan suatu barang, sukarlah perbuatan‑perbuatan itu dilakukan (dan karenanya juga sukar ditanggung) oleh orang lain, meskipun mungkin seorang borg menyanggupi untuk menanggung pem­bayaran penggantian kerugian yang mungkin harus dibayar oleh si berhutang. Borgtoch adalah suatu perjanjian accessoir, seperti pand dan hypotheek. Perjanjian pokok, ialah perjanjian pinjam­an uang yang ditanggung pembayarannya. Berhubung dengan sifatnya borgtocht yang hanya berupa suatu buntut belaka dari suatu perjanjian lain, oleh pasal 1822 B.W. ditetapkan bahwa kepada seorang borg tidak boleh dipikulkan suatu kewajiban yang lebih berat  daripada yang dipikul oleh si berhutang itu sen­diri. Jika terdapat hal yang demikian, maka perikatan yang me­lebihi perikatan pokok itu tidak berlaku.
              Oleh karena seorang borg, hanya menanggung pembayaran saja, artinya yang harus memikul hutang itu si berhutang itu sendiri.

       h.    Perjanjian perdamaian (dading atau compromis)
       Ini adalah suatu perjanjian di mana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk menyingkiri atau mengakhiri suatu per­kara, dalam perjanjian mana masing‑masing melepaskan semen­tara hak‑hak atau tuntutannya. Perjanjian semacam ini harus di­adakan tertulis, jadi tidak boleh secara lisan saja.

       i.     Perjanjian kerja (perburuhan)
       Sejak tahun 1926, telah dimasukkan suatu peraturan baru dalam B.W., yang panjang lebar dan sesuai dengan kemajuan za­man. Dalam peraturan baru itu terdapat banyak pasal‑pasal yang bertujuan melindungi pihak pekerja (buruh) terhadap majikannya, misalnya banyak hal‑hal yang tidak boleh dimasukkan dalam suatu perjanjian perburuhan, sedangkan kekuasaan hakim untuk campur tangan juga besar. Perlu diterangkan bahwa peraturan‑peraturan dalam B.W. itu berlaku bagi tiap pekerja, baik ia seorang pekerja harian, maupun ia seorang direktur bank.

       Perjanjian kerja dalam arti kata yang luas dapat dibagi dalam:
       a.    Perjanjian perburuhan yang sejati (arbeids‑overeen­ komst);
       b.    Pemborongan pekerjaan (aanneming van werk);
       c.    Perjanjian untuk melakukan suatu jasa atau pekerjaan terlepas (overeenkomst tot het verrichten van enkele diensten).

       Suatu perjanjian perburuhan yang sejati mempunyai sifat-sifat khusus yang berikut :
       1.    la menerbitkan suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan antara buruh dan majikan, berdasarkan mana pihak yang satu berhak memberikan perintah‑perintah kepada pihak yang lain tentang bagaimana ia harus melakukan pekerjaannya;
       2.    Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah, yang lazimnya berupa uang, tetapi ada juga yang (sebagian) berupa pengobatan dengan percuma, kendaraan, makan dan penginapan, pakaian dan lain sebagainya;
       3.    Ia dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah-satu pihak.

       Di antara larangan‑larangan perlu diketahui larangan untuk mengadakan apa yang dinamakan "nering‑beding," yaitu suatu perjanjian di mana si pekerja diwajibkan menggunakan upah atau gajinya menurut petunjuk atau peraturan majikan.
              Selanjutnya ditetapkan, bahwa suatu perjanjian khusus yang mengandung hukuman‑hukuman (strafbeding) hanya diperboleh­kan apabila perjanjian perburuhan dibuat tertulis.
              Diperbolehkan apa yang dinamakan suatu "concurrentiebe­ding," di mana diperjanjikan bahwa si pekerja, bila ia sudah ber­henti bekerja dilarang mendirikan suatu perusahaan yang akan menyaingi perusahaan majikannya.
              Sebelum waktu yang ditentukan berakhir, salah satu pihak dapat mengakhiri perjanjian seketika, tetapi ia dapat dituntut oleh pihak yang lain untuk memberikan kerugian. Menurut un­dang‑undang ia dapat dibebaskan dari tuntutan itu, apabila ia dapat membuktikan di depan hakim, bahwa pengakhiran itu dila­kukan karena suatu sebab yang mendadak dan mendesak (dringen­de redenen), yang menyebabkan pihak tersebut tidak dapat mene­ruskan perjanjian. Suatu sebab yang demikian, bagi pihak majikan       dapat berupa, misalnya karena seorang pekerja sangat buruk       kerjanya. Bagi si pekerja, misalnya karena majikan tidak membayar gaji atau upah pada waktu yang diperjanjikan. Jika diadakan suatu waktu percobaan (proeftijd), maka dalam waktu itu masing­-masing pihak dapat mengakhiri perjanjian begitu saja dan setiap waktu. Waktu percobaan tidak dibolehkan melebihi tiga bulan. Suatu perjanjian kerja berakhir dengan sendirinya, apabila si pekerja meninggal, tetapi tidak demikian halnya apabila si maji­kan meninggal. Dalam hal ini diserahkan pada para ahliwaris si majikan itu, apakah mereka hendak mengakhiri atau menerus­kan perjanjian. Selanjutnya ditetapkan bahwa si majikan harus memberikan sepucuk surat keterangan, apabila diminta oleh se­orang pekerja yang telah berhenti kerja.
              Pemborongan pekerjaan (aanneming van werk) ialah suatu perjanjian, di mana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pi­hak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pemba­yaran upah yang ditentukan pula. Dalam pengertian pemborongan pekerjaan ini, tidak saja termasuk hal seorang aannemer yang mem­buat rumah dan bangunan, tetapi juga seorang penjahit yang mem­bikin pakaian atau seorang tukang reparasi yang memperbaiki sebuah mobil.
              Suatu perjanjian untuk melakukan Suatu pekerjaan, yang tidak dapat dimasukkan dalam pengertian "arbeids‑contract" atau pemborongan pekerjaan, dinamakan perjanjian untuk me­lakukan suatu pekerjaan terlepas, misalnya hal seorang dokter gigi yang mencabut gigi atau seorang kuli yang mengangkut ba­rang.
              Perjanjian‑perjanjian yang diterangkan di atas, dinamakan "benoemde overeenkomsten," yaitu semuanya mempunyai nama­-nama tertentu jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya). Berhu­bung dengan asas kebebasan untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang‑undang, kesusilaan atau ketertiban umum, kita merdeka untuk menciptakan perjanjian apa saja yang tidak disebutkan dalarn Buku III. Dan memang dalam praktek banyak terdapat perjanjian yang tidak dapat di­masukkan dalam salah satu ruangan dalam Buku III itu. Misalnya saja hal seorang yang menginap di suatu hotel dengan mendapat makanan dan pelayanan. Perjanjian apakah yang ia tutup dengan pemilik hotel? Bukan sewa-menyewa kamar, sebab ia mendapat makanan dan pelayanan; juga bukan jual beli makanan dan minuman, sebab ia menginap juga di situ. Inilah suatu contoh dari suatu "onbenoemde overeenkomst," suatu perjanjian yang tidak bernama.