(JL. MATRAMAN DALAM 3 NO. 7, PEGANGSAAN, MENTENG, JAKARTA PUSAT) E-MAIL: mr.saputro83@gmail.com HP. 081283279783

HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL


 
HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL
DAN HUKUM NASIONAL

1.         Tempat Hukum Internasional dalam Tata Hukum Secara Keseluruhan
                        Pembahasan persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaan masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional.
                        Dalam teori ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasakan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara, dan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara.
                        Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya dengan apa yang diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya merupakan bagian dari satu keseluruhan tata hukum yang sama.
                        Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Menurut paham dualisme ini yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
                        Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut di atas didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Di antara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan hal sebagai berikut :
(1)   kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
(2)   kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek hukum internasional ialah negara;
(3)   sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya.
                        Pandanga dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang penting. Salah satu akibat pokok yang terpenting ialah dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada hakikatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak bergantung satu sama lainnya tapi juga lepas dari yang lainnya.
                        Akibat kedua ialah bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum nasional.
                        Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antar adua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran monisme. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional.
                        Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan iin disebut paham monisme dengan primat internasional.
                        Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau auszeres Staatsrecht. Pandangan yang melihat kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah :
(1)   bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini;
(2)   dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara un tuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional.
                        Menurut paham monisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarkis lebih tinggi. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya berkekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang dari hukum internasional. Paham ini dikembangkan oleh mazhab Vienna (Kunz, Kelsen dan Verdross).
                        Kesimpulan bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional. Tinggal kini kita melepaskannya dari argumen a priori yang didasarkan atas konstruksi teoritis dan melihat apakah kesimpulan yang sekaligus menjadi praemise pokok hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang efektif dapat kiranya dicarikan jawabannya berdasarkan praktik internasional.

2.         Primat Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional
                        Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional.
                        Sebagai contoh, negara-negara mentaati hukum internasional mengenai batas wilayah negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan negara lain, khususnya dengan negara tetangganya.
                        Kenyataan yang dilukiskan di atas yaitu bahwa pada umumnya negara-negara di dunia ini saling menghormati garis batas yang memisahkan wilayahnya dari wilayah negara lain tidak berarti bahwa sekali-sekali tidak bisa terjadi sengketa perbatasan. Sengketa perbatasan antara India dan RRC, RRC dan USSR.
                        Contoh lain kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati ialah hukum yang mengatur perjanjian internasional antarnegara. Di sini pun sekali-sekali hal terjadi penyimpangan dari keadaan umum ini seperti juga dalam hal hukum internasional mengenai perbatasan wilayah.
                        Sering apa yang tampak sebagai pelanggaran suatu perjanjian tertentu, yang dengan demikian merupakan suatu pelanggaran hukum internasional in concreto di bidang hubungan diplomatik dan konsuler dan perlakuan terhadap orang asing termasuk miliknya. Ada kalanya kekebalan diplomatik dan konsuler yang dijamin oleh ketentuan hukum internasional ini terpaksa dilanggar oleh negara tuan rumah seperti misalnya dalam usaha menangkap atau menundukkan pemberontak yang berlindung di gedung atau halaman gedung kedutaan atau konsuler negara asing.
                        Bagaimanapun juga secara umum dapat dikatakan bahwa negara tuan rumah tidak akan melanggar hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan konsuler kecuali ada alasan yang kuat untuk ini dan setelah tidak ada jalan lain untuk mengatasinya.
                        Juga mengenai perlakuan terhadap orang asingdan hak milik asing dalam keadaan tertentu, ketentuan hukum internasional mengenai perlakuan terhadap orang asing dan milik asing tidak bisa dipertahankan karena ada kepentingan lain yang lebih mendesak dan lebih tinggi. Prima facie merupakan tindakan yang melanggar hukum internasional yang memberikan perlindungan kepada orang asing dan miliknya. Dalam persoalan tindakan pemerintah Indonesia terhadap perkebunan dan perusahaan lain milik Belanda pada tahun 1958 ini, yang kemudian dikenal dengan nama Perkara  Tembakau Bremen. Keputusan yang diambil oleh pengadilan Bremen yakni bahwa pengadilan tidak mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia itu, secara tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan terhadap perusahaan dan perkebunan milik Belanda.
                        Bidang lain dalam praktik hukum internasional ialah hukum laut. Sejak tahun 1958 yakni tahun diadakannya Konferensi Hukum Laut di Jenewa yang pertama tidak dapat lagi dikatakan bahwa 3 mil laut merupakan batas lebar laut teritorial yang berlaku umum.
                        Persoalan penetapan batas lebar laut teritorial (sepenuhnya) menjadi urusan masing-masing negara? Persoalan batas lebar laut teritorial itu sepenuhnya diatur oleh hukum nasional negara masing-masing yang pada hakikatnya berarti penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang mengatur persoalan ini.
                        Pendapat Mahkamah Internasional menunjukkan bahwa betapapun lemahnya ketentuan (pembatasan) hukum internasional tentang penetapan lebar laut teritorial, kesimpulan pokok yang dapat kita tarik darinya ialah bahwa penetapan batas lebar laut teritorial bukanlah semata-mata merupakan tindakan sepihak suatu negara.
                        Pada waktu Konferensi Hukum Laut III di Caracas Venezuela (tahu 1974) dimulai persoalan batas lebar laut teritorial sudah tidak menjadi masalah lagi karena tidak ada negara peserta yang dapat menyangkal batas lebar 12 mil sebagai batas yang berlaku umum.
                        Dari uraian pertumbuhan dan terbentuknya kaidah hukum laut internasional mengenai atas lebar laut wilayah dapat kita tarik beberapa kesimpulan.
                        Salah satu di antaranya ialah bahwa kita perlu ada pertentangan hakiki atau fundamental antara tindakan sepihak (unilateral act) suatu negara dengan hukum internasional.

3.    Hubungan antar Hukum Internasional dan Hukum Nasional menurut Hukum Positif Beberapa Negara
                        Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah hukum negara (international law is the law of the land). Ajaran ini lazim dikenal dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine).
                        Doktrin yang menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum Inggris ini berkembang dan dikukuhkan selama abad XVIII dan XIX dalam beberapa keputusan pengadilan yang terkenal.
                        Kemudian terjadi beberapa perubahan dalam arti bahwa doktrin itu tidak lagi diterima secara mutlak. Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif yang berlaku di Inggris harus pula dibedakan antara: (1) hukum kebiasaan internasional (customary international law) dan (2) hukum internasional yang tertulis (traktat, konvensi atau perjanjian).
                        Doktrin inkorporasi di Inggris itu ada pembatasan dan pengecualiannya, baik dalam ruang lingkup maupun penerapannya. Namun, dapat dikatakan bahwa doktrin ini cukup kuat tertanam dalam hukum positif di Inggris. Hal ini terbukti dari dua dalil yang dipegang teguh oleh pengadilan di Inggris yakni:
(1)   dalil konstruksi hukum (rule of construction); menurut dalil ini  undang-undang  yang dibuat oleh para Parlemen (Acts of Parliament) harus ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan hukum internasional.
(2)   dalil tentang pembuktian suatu ketentuan hukum internasional (rule of evidence).
                        Mengenai hukum internasional yang bersumberkan perjanjian internasional (agreements, treaties and conventions) dapat dikatakan bahwa pada umumnya perjanjian yang memerlukan persetujuan Parlemen memerlukan pula pengundangan nasional sedangkan yang tidak memerlukan persetujuan badan ini dapat mengikat dan berlaku secara langsung setelah penandatanganan dilakukan.
                        Negara lain yang juga menganut doktrin inkorporasi yaitu menganggap hukum internasional sebagai dari hukum nasional ialah Amerika Serikat.
                        Undang-Undang  yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress) dianggap tidak bertentangan dengan hukum internasional. Akan tetapi, jika suatu undang-undang (statue) terang-terangan bertentangan dengan suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional (yang lama), undang-undanglah yang harus dimenangkan.
                        Amerika Serikat mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum perjanjian internasional yang menentukan adalah ketentuan (tertulis) konstutusi Amerika Serikat mengenai hal ini dan bukan perimbangan atau akomodasi antara hak dan wewenang eksekutif (pemerintah dan Raja) dan Parlemen seperti di Inggris yang berdasarkan praktik dan kebiasaan.
                        Menurut praktik (hukum positif) di Amerika Serikat iin, apabila suatu perjanjian internaisonal tidak bertentangan dengan konstitusi dan termasuk golongan perjanjian yang self executing.
                        Dalam konstitusi masa kini (modern) ada kecenderungan mencantumkan secara tegas bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional, yang akan mengatasi atau mengalahkan hukum nasional dalam hal ada pertentangan.
                        Suatu contoh yang jelas menggambarkan keadaan seperti itu ialah Undang-Undang Dasar (Grund Gesetz) Republik Federasi Jerman yang dalam Pasal 25 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional Jerman.
                        Sikap kita terhadap hukum internasional yang ditentukan oleh kesadaran mengenai kedudukan kita dalam masyarakat internasional yang sedang berkembang, apabila sikap yang tidak menerima begitu saja kaidah hukum internasional tradisional itu disertai dengan suatu sikap yang wajar, kita bersikap hendak mengadakan perubahan ini, sikap demikian selalu dibarengi dengan kewajaran (reasonableness) dan kepekaan (sensitivity) terhadap hak dan kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional.
                        Sikap demikian telah kita perhatikan dengan Wawasan Nusantara atau konsepsi nusantara (archipelago), dan hak atas dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil) di sekitar kepulauan kita yang didasarkan atas doktrinlandas kontinen (continent shelf).
                        Kiranya praktik Indonesia mengenai Wawasan Nusantara dan landas kontinent itu merupakan contoh bagaimana suatu praktik negar ayang dimulai dengan tindakan sepihak melalui pelaksanaan kebijaksanaan yang penuh pertimbangan atas kepentingan pihak-pihak lain dan masyarakat internasional pada hakekatnya tidak dapat dianggap sebagai bertentangan dengan kepentingan dan hukum internasional.
                        Jika demikian halnya dengan masalah hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional secara umum dan praktik beberapa negara termasuk Indonesia.
                        Kita lebih condong pada sistem negara-negara kontinental Eropa yang langsung menganggap diri kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan mentaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan (implementing legislation).
                        Dalam beberapa hal tertentu terutama dalam keadaan kita turut serta dalam suatu konvensi yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan, kelalaian demikian memang bisa menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan. Orang, tentu berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang ada (dan belum) diubah yang didasarkan atas konvensi yang lama, sedangkan sebagai negara kita sudah resmi terikat pada konvensi yang baru.