Laman

MAKALAH KEUNTUNGAN PEBISNIS MEMILIH ARBITRASE


BAB I
PENDAHULUAN

          Transaksi bisnis umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualis, kepercayaan (trust) di antara ara pihak, namun hal itu tetap tidak akan dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya perselisihan di antara para pihak. Perselisihan tersebut dapat menimbulkan sengketa yang tentunya memerlukan penyelesaian hukumnya. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan dan di luar pengadilan.
          Peranan badan arbitrase komersial di dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis di bidang perdagangan internasional maupun internasional dewasa ini menjadi semakin penting. Banyak kontrak nasional dan internasional menyelipkan klausula arbitrase. Dan memang bagi kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberi keuntungan sendiri daripada melalui badan peradilan nasional.
          Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LLM., secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam tiga golongan :[1]
1.       penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik berupa negosiasi yang bersifat langsung (negotiation simplisiter) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi);
2.       penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional;
3.       penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad hoc maupun yang terlembaga.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya akan efektif jika para pihak yang terlibat sengketa adalah perusahaan yang bonafide dan gentlemen. Pihak yang menang berusaha supaya putusan arbitrase didaftarkan pada pengadilan negeri agar memiliki kekuatan hukum. Pihak yang kalah tetap menghormati dan tidak menghalang-halangi eksekusi.
          Kini undang-undang khusus yang mengatur tentang arbitrase telah lahir di Indonesia, yakni Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Tentu saja undang-undang ini dapat membuat hati pencari keadilan seperti berbunga-bunga. Betapa tidak, dengan dikuatkannya lembaga arbitrase dan juga berbagai alternatif penyelesaian sengketa lainnya dalam suatu undang-undang, maka timbul secercah harapan bahwa penyelesaian sengketa dapat diselesaikan secara lebih efektif dan efisien. Paling tidak, jauh dan sangat jauh lebih baik ketimbang rekanan konvensionalnya berupa badan pengadilan. Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang tentang Arbitrase ini akan tercipta bingkai-bingkai di mana sebuah harapan digantungkan, yang umumnya merupakan harapan dari mereka yang selama ini melakukan sumpah serapah kepada badan-badan pengadilan yang konvensional, di mana badan-badan pengadilan tersebut di Indonesia ini lebih banyak memutuskan dengan bernalar ”naif” ketimbang ”reasonable”. Paling tidak, demikianlah anggapan banyak orang.
          Makalah ini akan membahas mengenai berbagai keuntungan yang diperoleh oleh pelaku bisnis jika memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Makalah diawali dengan pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan melihat arbitrase pada umumnya, selanjutnya diikuti dengan beberapa landasan yang dipakai oleh pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya, baru kemudian disusul dengan uraian mengenai keuntungan-keuntungan memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Akhirnya makalah ditutup dengan kesimpulan dan saran.

BAB II
ARBITRASE PADA UMUMNYA

A.      Pengertian Arbitrase
          Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :
1.       Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian, berupa :
          a.    Kontraversi pendapat (controversy)
          b.    Kesalahan pengertian (misunderstanding)
          c.    Ketidaksepakatan (disagreement)
2.       Pelanggaran perjanjian (breach of contract) termasuk di dalamnya adalah :
          a.    Sah atau tidaknya kontrak;
          b.    Berlaku atau tidaknya kontrak;
3.       Pengakhiran kontrak (termination of contract)
4.       Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau melawan hukum.
Arbitrase merupakan suatu pengadilan swasta, yang sering juga disebut dengan ”pengadilan wasit”. Sehingga para ”arbiter” dalam peradilan arbitrase berfungsi memang layaknya seorang ”wasit” (refree) seumpama wasit dalam suatu pertandingan bola kaki.
Yang dimaksud dengan ”arbitrase” adalah submission of controversies, by agreement of the parties thereto, to persons chosen by themselves for determination (suatu pengajuan sengketa, berdasarkan perjanjian antara para pihak, kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan). (Gifis, Steven H.)
Dalam suatu sumber, arbitrase dimaksudkan sebagai :
          Menurut yang tertulis, ialah memeriksa sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh suatu perselisihan antara dua pihak atau lebih yang bertentangan diserahkan kepada satu pihak atau lebih yang berkepentingan untuk mengadakan pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak berkepentingan, atau arbitrator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih tinggi yang kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Dalam prosedur arbitration, kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah menyetujui akan menerima keputusan arbitrator… (Abdurrachman, A.)

Dalam suatu sumber yang lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah the submission for determination of disputed matter to private unofficial persons selected in manner provided by law or agreement  (pengajuan suatu sengketa untuk diputuskan oleh orang-orang swasta yang tidak resmi, yang dipilih dengan cara yang ditetapkan oleh peraturan atau oleh suatu perjanjian). (Black, Henry Champbell.)
Kemudian, menurut Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah :
          Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (vide Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999)

Dari beberapa definisi arbitrase tersebut di atas, dapat ditarik beberapa karakteristik yuridis dari arbitrase. Karakteristik yuridis tersebut adalah sebagai berikut :
1.       Adanya kontroversi di antara para pihak.
2.       Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter.
3.       Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu.
4.       Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum.
5.       Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian.
6.       Arbiter melakukan pemeriksaan perkara.
7.       Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan Putusan arbitrase tersebut dan mengikat para pihak.
Sungguhpun yang namanya arbitrase itu bermacam ragamnya, dan pengaturannya juga berbeda-beda dari suatu negara ke negara lainnya, namun demikian dapat disebutkan bahwa suatu arbitrase modern haruslah memiliki syarat-syarat minimal sebagai berikut :
1.       Badan pengadilan konvensional mengakui yurisdiksi badan arbitrase.
2.       Klausula/kontrak arbitrase mengikat dan tidak dapat dibatalkan.
3.       Putusan arbitrase pada prinsipnya bersifat final and binding, dan hanya dapat ditinjau kembali oleh badan pengadilan konvensional dalam hal-hal yang sangat khusus dan terbatas.
4.       Badan-badan pengadilan konvensional harus dapat memperlancar tugas arbitrase.
Selain itu, terhadap suatu arbitrase modern haruslah dilaksanakan hal-hal sebagai berikut :
1.       Selalu dirumuskan dan diterapkan tujuan dan cita-cita terhadap arbitrase yang mungkin dicapai.
2.       Ketentuan tentang arbitrase haruslah merefleksi common sense dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada di negara yang bersangkutan (local reguirements).
3.       Secara periodik hukum tentang arbitrase harus selalu diperlengkapi oleh mereka yang benar-benar kompeten.
4.       Hukum tentang arbitrase harus diperlengkapi oleh mereka yang benar-benar kompeten.
5.       Hukum tentang arbitrase harus dilengkapi mengikuti perkembangan kasus-kasus yang diperiksa, tetapi tidak boleh bias.
6.       Harus cepat menyerap, merespons dan melaksanakan perubahan-perubahan tanpa perlu membuang waktu.
7.       Lawyer yang baik tidak selamanya menjadi pemimpin yang baik. Jadi perkembangan pembaharuan arbitrase tidak selalu mengikuti perkembangan kasus-kasus besar dengan lawyer yang hebat-hebat. (Asia Pacific Forum, 1997 : 12)[2]

B.      Prinsip-Prinsip Arbitrase
Arbitrase sebagai alternatif badan penyelesaian sengketa mempunyai beberapa prinsip sebagai berikut :
1.       The low of parties
          Artinya para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan.
2.       The low of procedures
3.       Of good faith
          Artinya bahwa itikad baik sangat dijunjung tinggi dan bisa diwujudkan dalam bentuk tertulis atau lisan.
4.       Of cooperation
          Artinya kerjasama yang dikedepankan dalam mencari kebenaran, penerapan hukum ataupun menyelesaikan/memecahkan masalah.
5.       Of non confrontations
          Artinya pertentangan bukanlah prinsip yang dipakai dalam arbitrase tetapi kerjasama dalam mencari pemecahan masalah.
6.       Of time limitations
          Artinya batas waktu penyelesaian sengketa sudah ditetapkan dan tidak boleh melebihi batas yang ditentukan.
7.       Of independence
          Di sini Ketua BANI tidak pernah mendiskusikan sengketa yang sedang diselesaikan oleh Majelis.
8.       Of contradictions
          Artinya kalau pemohon mengajukan suatu dalam time of reference si pemohon bisa membenarkan atau menidakkan.
9.       Of confidencial
          Artinya kepercayaanlah yang dikedepankan dalam menyerahkan penyelesaian persoalan/sengketa kepada Majelis atau Arbiter.
10.     Of non publications
          Artinya setiap pemecahan masalah yang diambil tidak dipublikasikan kepada umum, jadi yang mengetahui hanya kedua belah pihak dan Arbiter.
11.     Of non interfence
          Artinya pihak lain tidak bisa mencampuri Majelis atau Arbiter.
12.     Dalam bidang hukum arbitrase :
          a.    Competence
          b.    Separability
          c.    Inquisitoir
          d.    Adversarial
          e.    International, Universal, Global & Trans Nasional

BAB III
KEUNTUNGAN PELAKU BISNIS MEMILIH ARBITRASE

A.      Beberapa Landasan Pelaku Bisnis
1.       Kemitraan
               Di dalam lalu lintas kalangan bisnis, hal yang pokok adalah mitra. Relasi dengan mitra usaha perlu dijaga kelancaran dan kesinambungannya. Hal ini disebabkan eksistensi pebisnis sangat tergantung dari relasinya. Mitra dianggap sebagai asset, begitu pula faktor produksi seperti karyawan dan juga jaringan merupakan asset. Tanpa mitra, karyawan dan jaringan maka sasaran atau tujuan perusahaan tidak akan tercapai.
2.       Itikad Baik dan Kepercayaan
               Hubungan dengan relasi atau mitra harus didasarkan pada itikad baik dan kepercayaan. Pentingnya itikad baik dalam kontrak pebisnis menjadikannya sebagai tolok ukur apakah hubungan bisnis akan berlanjut atau tidak. Hubungan bisnis harus didasarkan pada hubungan saling menguntungkan, dan hubungan saling menguntungkan dilandasi dengan itikad baik. Begitu pula halnya dengan kepercayaan, percaya atau tidak dalam berbisnis menentukan kesinambungan dalam berusaha sebagai rekanan atau lainnya.
               Kepercayaan harus dibungkus dengan itikad baik, sehingga terjalin dan terjaga eksistensi kemitraan yang saling menguntungkan dalam upaya mencapai tujuan.

3.       Efisiensi dan Orientasi Mencari Keuntungan
               Setiap pelaku usaha pasti berorientasi mencari keuntungan. Produk usaha berupa barang atau jasalah yang akan dijual. Sesuai dengan Prinsip Ekonomi, dengan modal sedikit diharapkan memperoleh untung yang banyak. Dalam kaitan produk usaha berupa barang dan jasa, maka peran penjual/ distributor dalam menghasilkan laba adalah dominan. Penjual/distributor adalah ujung tombak kemajuan usaha, berikut juga dengan jaringannya.
               Dari segi pengusaha faktor yang terpenting lainnya adalah efisiensi, baik efisiensi dalam biaya produksi, biaya pemasaran, dan lain-lain dalam upaya mencari laba sebanya-banyaknya untuk perusahaan.
          Ketiga landasan ini selayaknya dipakai dalam kontrak bisnis. Namun dalam kenyataannya walaupun ketiga hal itu telah dipakai, tidak menutup kemungkinan timbulnya masalah. Sengketa yang timbul harus disesuaikan dengan cara efisien pula baik dari segi waktu atau biaya, karena bagaimanapun efisiensi adalah suatu hal yang mutlak dan sangat penting.

B       Tolok Ukur Memilih Penyelesaian Sengketa
          Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan. Dan model penyelesaian yang sangat populer adalah apa yang disebut dengan ”arbitrase” itu.
          Akan tetapi, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun tidak sepopuler lembaga arbitrase.
          Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.       Haruslah efisien dari segi waktu.
2.       Haruslah hemat biaya.
3.       Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh.
4.       Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
5.       Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
6.       Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa.
7.       Putusannya haruslah final dan mengikat.
8.       Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
9.       Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti di mana penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat. (Kanowitz, Leo, 1985)

C.      Keuntungan-Keuntungan Pelaku Bisnis Memilih Arbitrase
Di tengah kenyataan adanya citra dunia peradilan di Indonesia yang tidak begitu baik, maka pilihan yang tepat bagi pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa adalah dengan memakai arbitrase. Dasar dari pemilihan tersebut adalah hal yang rasional yaitu efisiensi di mana setiap pelaku bisnis selalu cenderung menerapkan efisiensi biaya dan waktu.
Keuntungan-keuntungan memilih arbitrase :
          Dari segi prosesual, arbitrase menekankan pada konsensus atau kesepakatan para pihak, keadilan menjadi tujuannya, kepuasan akan sifat ”private” dari arbitrase, keputusan yang final dari arbitrase dan juga fleksibelitas sifat dari arbitrase.[3]
          Badan arbitrase komersial internasional ini sekarang ini menjadi cara penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai. Alasan-alasan para pengusaha menyukai badan ini daripada pengadilan nasional bermacam-macam. Yakni, umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari masyarakat penguasa (bisnis) internasional; pengadilan nasional identik dengan sistem ekonomi, hukum dan politik dari negara-negara tempat pengadilan nasional tersebut berada yang berbeda dengan sistem para pengusaha (bisnis). Sebaliknya, arbitrase komersial internasional merupakan ”pengadilan pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di antara mereka (kalangan bisnis) dan sesuai kebutuhan/keinginan mereka.
          Seperti kita telah pula maklumi, berperkara melalui pengadilan biasa (nasional suatu negara) telah umum dianggap tidak efektif bagi kalangan pengusaha. Masalah penangguhan perkara, belum lagi kalau adanya kongesti (tunggakan perkara yang harus diselesaikan), yang berarti tertunda-tundanya keputusan yang hendak dikeluarkan, dan masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau masyarakat bisnis agak enggan berproses perkara melalui pengadilan.
          Telah menjadi rahasia bersama bahwa berperkara melalui pengadilan acapkali memakan waktu yang relatif lama. Hakim yang mengadili tidak hanya berhadapan dengan satu atau dua perkara saja pada waktu yang bersamaan. Dalam prakteknya, ia dihadapkan lebih dari dua-tiga perkara dalam suatu masa tugasnya. Akibatnya ia harus membagi-bagikan prioritas dan waktu untuk perkara-perkara mana yang didahulukan dan mana yang tidak terlalu mendesak.  Hal ini sudah barang tentu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain yang mendukung cepat-tidaknya proses penyelesaian suatu perkara.
          Sehubungan dengan alasan di atas, perlu pula diperhatikan bahwa banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim-hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi hukum komersial internasional. Sehingga karena keadaan ini pula mengapa para pihak lebih suka cara arbitrase.
          Selain itu pula dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara yang bersangkutan telah selesai. Sebab pihak-pihak yang kurang puas dengan keputusan tersebut, ia masih punya saluran laihn untuk ”melampiaskan” ketidakpuasannya ke pengadilan yang lebih tinggi, yakni tingkat banding. Dan seperti halnya pengalaman di pengadilan sebelumnya (tingkat pertama), di sini pun lamanya putusan yang dikeluarkan kemungkinannya besar. Sehingga dari gambaran ini tampak bahwa berproses perkara melalui pengadilan bisa memakan waktu yang berlarut-larut.
          Sebagai konsekuensi logis dari lamanya proses berperkara melalui pengadilan ini, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk itu, misalnya saja biaya ahli hukum dan ongkos-ongkos lainnya, akan bertambah terus (mahal). Akibat sampingan lain dari situasi seperti ini, misalnya, adalah berkurangnya waktu untuk berusaha (dagang). Ini berarti akan berpengaruh pula pada kelancaran dan produktivitas perusahaannya.
          Berlainan dengan proses pengadilan biasa di atas, sebagian besar penulis berpendapat bahwa berperkara melalui arbitrase lebih murah. Sebagai contoh, biaya administratif (untuk pendaftaran) yang di dalam kerangka arbitrase ICSID adalah US$ 100. Biaya untuk arbitrator adalah US$ 650 per hari plus biaya-biaya perjalanan dan biaya hidup lainnya.
          Lain halnya dengan badan pengadilan, keputusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat. Tidak ada kamus banding sebagai tandingan terhadap keputusan yang dikeluarkan.
          Kelebihan lainnya, yakni bahwa berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel. Tidak ada tata cara proses perkara yang mutlak harus dijalani (kaku). ”Hakim”, dalam hal ini arbitratornya, tidak perlu pula terikat dengan aturan-aturan proses berperkara seperti halnya yang terjadi pada pengadilan nasional. Tidak ada keharusan untuk berperkara di tempat tertentu, karena para pihak sendirilah yang memiliki kebebasan untuk menentukan tempat arbitrase bersidang, dan sekaligus hukum yang akan dipakai atau bahasa yang akan dipergunakan (manakala sengketa tersebut sifatnya internasional).
          Karena sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formil-formilan ini nantinya berpengaruh pula pada cara pihak yang bersengketa. Yakni, mereka menjadi tidak terlalu ”bersitegang” di dalam proses penyelesaian perkara. Iklim seperti ini sudah barang tentu akan sangat konstruktif dan akan mendorong semangat kerja sama para pihak di dalam proses penyelesaian perkara. Hal ini berarti pula akan mempercepat proses penyelesaian perkara yang bersangkutan.
          Alasan lain yaitu bahwa melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih ”hakim” (arbitrator) yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka baik dari segi keahlian atau pengetahuannya pada sesuatu bidang tertentu. Di sini arbitrator yang mereka pilih untuk menangani perkara atau sengketanya tidak harus selalu sarjana atau ahli hukum. Bisa saja ahli ekonomi, ahli perdagangan, insinyur, dan lain-lain. Sebagai ilustrasi, di antara delapan pejabat teras (director) AAA (American Arbitration Association), dua orang adalah ahli mediator dan arbitrase, empat orang ahli hukum yakni masing-masing konsultan hukum, ahli hukum perusahaan, hukum perbankan dan asuransi, ahli hukum perburuhan, dan mantan kepala LBH (Lembaga Bantuan Hukum) pada suatu negara bagian Amerika Serikat. Dua direktur lainnya yang peranannya sangat penting adalah ikut sertanya bos-bos perusahaan multinasional Amerika Serikat di dalamnya. Kedua direktur Terakhir ini yakni W. Thomas Knight adalah senior vice president, secretary dan sekaligus pula general counsel dari perusahaan Avon Products, Inc. Dan Thomas R. Long adalah juga senior vice president, dan the general counsel pada perusahaan Westvaco Corporation.
          Faktor kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan merupakan juga alasan utama mengapa badan arbitrase ini menjadi primadona para pengusaha. Sebab melalui arbitrase tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan keputusan arbitrase sebagaimana halnya yang terjadi pada pengadilan (nasional) biasa. Dengan adanya kerahasiaan ini, nama baik atau image para pihak tetap terlindungi. Sementara bagi perusahaan, mereka dapat menjaga kerahasiaan informasi-informasi dagang mereka.
          Keuntungan lain dari arbitrase komersial internasional ini adalah tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya. Salah seorang pengamat Amerika menyatakan : The desirability of arbitration among businessman is enbanced by unpredictable conflicts of laws rules.
          Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu diselesaikan menurut proses hukum (tertentu)saja, tetapi juga dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi di antara para pihak. Hal ini dimungkinkan manakala para arbitrator menemui kesulitan untuk memastikan apa yang menjadi sebab atau sebab-sebab timbulnya suatu sengketa dan pihak  mana yang bertanggung jawab karenanya. Keadaan ini timbul karena persidangan arbitrase biasanya diminta dan diadakan setelah beberapa waktu lamanya setelah klaim diajukan oleh para pihak. Karena adanya jenjang waktu yang cukup lama ini, para arbitrator kadangkala menemui kesulitan dalam merekonstruksi fakta-fakta yang relevan dalam keadaan yang aslinya. Dan cara penyelesaian arbitrase secara kompromi ini disebut juga dengan conciliatory arbitration.
          Sebagai kesimpulan tentang keuntungan arbitrase ini, kiranya cukuplah penting untuk dituliskan pernyataan Prof. Pieter Sanders yang berbunyi sebagai berikut : Arbitration ... is a service to the international community looking for a speedy, efficient, fair and, if possible, less expensive solution for disputes that may allways arise out of international relations.

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
          Berdasarkan uraian tentang keuntungan-keuntungan memilih arbitrase maka kesimpulannya adalah bahwa yang paling ideal bagi pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketa adalah arbitrase. Alasannya adalah bahwa arbitrase merupakan penyelesaian yang efisien karena dilandasi oleh itikad baik, kerjasama dan tanpa konfrontasi. Hal ini membuat pemecahan masalah yang bersifat
win - win solution”. Berbeda dengan penyelesaian di pengadilan yang bersifat “win - loose” dan juga berfilosopi pertentangan dan pertikaian.

B.      Saran
Alangkah baiknya setiap kontrak yang dibuat oleh pelaku bisnis memuat klausula arbitrase, sehingga penyelesaian sengketa dapat diselesaikan dengan cepat, murah dan hubungan bisnis tetap terjaga/ berlangsung.


[1] Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 Hal 4.
[2] Fuady., Munir., S.H., M.H., LL.M., Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 14
[3] Prof., Dr., H., Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D., D.IAA., Fell. BISS, Arbitration, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Jakarta.